Monday, 26 October 2015

MAKALAH ILMU PENDIDIKAN ISLAM





Bismillahirrohmanirrohim
Assalammu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah Ilmu Pendidikan Islam mengenai “Metodologi pendidikan Islam”. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam.
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dan atas terselesaikannya penyusunan makalah ini, tak lupa kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.      Bapak Dosen Dr.H.M.Djaswidi Alhamdani,M.Pd.I selaku dosen mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam yang telah membimbing dan mendidik kami sehingga kami menjadi mahasiswa yang berilmu.
2.      Semua pihak yang telah membantu penulis demi terselesainya makalah ini.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi kami sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amin.         
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh.



Ciamis, 20 Maret 2015

 Penulis,          



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR  ............................................................................  i
DAFTAR ISI  ............................................................................................  ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..........................................................................  1
1.2 Rumusan Masalah .....................................................................  1
1.3 Tujuan .......................................................................................  1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Metodologi Pendidikan Islam .................................  2
2.2 Jenis-jenis Pendidikan ...............................................................  2
2.3 Metodologi Pendidikan dalam Al-Qur’an ................................  8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ...............................................................................  12
3.2 Saran .........................................................................................  12
DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
 1.1   Latar Belakang Masalah
        Pada awal tahun 1970-an berbicara mengenai penelitian agama dianggap tabu. Orang akan berkata : kenapa agama yang sudah begitu mapan mau diteliti ; agama adalah wahyu Allah. Sikap serupa terjadi di Barat. Dalam pendahuluan buku Seven Theories Of Religion dikatakan, dahulu orang Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan meniliti agama. Sebab, antara ilmu dan nilai, antara ilmu dan agama ( kepercayaan ), tidak bisa disinkronkan.
        Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Al-quran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
 1.2      Rumusan Masalah
        Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah yang akan di bahas dalam makalah ini adalah :
A.    Apa pengertian metodologi pendidikan islam?
B.     Apa saja jenis-jenis pendidikan ?
C.     Bagaimana metodologi dalam Al-Qur’an ?

 1.3     Tujuan
            Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan di tulisnya makalah ini adalah :
A.    Untuk mengetahui pengertian metodologi pendidikan islam.
B.     Untuk mengetahui jenis-jenis pendidikan.
C.     Untuk mengetahui metodologi dalam Al-Qur’an


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Metodologi Pendidikan Islam
Metodologi pendidikan islam adalah suatu ilmu pengetahuan tentang metode yang dipergunakan dalam pekerjaan mendidik. Metodologi pendidikan islam memberikan tugas dan fungsi memberikan jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi pelaksanaan dari ilmu pendidikan islam tersebut. Pelaksanaannya berada dalam ruang lingkup proses kependidikan yang diciptakan unuk mencapai tujuan pendidikan islam.
B.     Jenis-jenis Pendidikan Islam
1.      Pendidkan Umum
Yaitu suatu pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Contohnya seperti SD, SMP, SMA.
2.      Pendidikan Kejuruan
Yaitu pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik untuk bekerja dalam bidang tertentu. Pendidikan kejuruan dapat diartikan dari berbagai segi.  Bila seseorang belajar cara bekerja, maka orang tersebut mendapatkan pendidikan kejuruan. 
Byram & Wenrich menyatakan bahwa dari sudut pandang sekolah, pendidikan kejuruan mengajarkan orang cara bekerja secara efektif.   Dengan demikian, pendidikan kejuruan berlangsung apabila individu atau sejumlah individu mendapatkan informasi, pemahaman, kemampuan, keterampilan, apresiasi, minat atau sikap, yang memungkinkan dia untuk memulai atau melanjutkan suatu aktivitas yang produktif.
Menurut Evans pendidikan kejuruan merupakan bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan seseorang agar lebih mampu bekerja pada satu kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan daripada bidang-bidang pekerjaan lain.  Sebelumnya, Hamalik menyatakan bahwa pendidikan kejuruan adalah suatu bentuk pengembangan bakat, pendidikan dasar keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan yang mengarah pada dunia kerja yang dipandang sebagai latihan keterampilan.  Lebih lanjut, Djohar mengemukakan bahwa pendidikan kejuruan adalah suatu program pendidikan yang menyiapkan individu peserta didik menjadi tenaga kerja profesional dan siap untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Karakteristik pendidikan kejuruan menurut Djohar adalah sebagai berikut:
  1. Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang memiliki sifat untuk menyiapkan penyediaan tenaga kerja.  Oleh karena itu orientasi pendidikan kejuruan tersebut mengarah pada lulusan yang dapat dipasarkan di dunia kerja.
  2. Justifikasi pendidikan kejuruan mengacu pada kebutuhan nyata tenaga kerja di dunia usaha dan industri.
  3. Pengalaman belajar yang didapatkan melalui pendidikan kejuruan meliputi aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik yang diterapkan baik pada situasi simulasi kerja melalui proses belajar mengajar, maupun situasi kerja yang nyata dan sebenarnya.
  4. Keberhasilan pendidikan kejuruan diukur dari dua kriteria, yaitu keberhasilan siswa di sekolah (in-school success), dan keberhasilan siswa di luar sekolah (out-of school success. Kriteria pertama meliputi keberhasilan siswa dalam memenuhi persyaratan kurikuler, sedangkan kriteria kedua ditunjukkan oleh keberhasilan atau kinerja lulusan setelah berada di dunia kerja yang nyata dan sebenarnya.
  5. Pendidikan kejuruan memiliki kepekaan/daya suai (responsiveness) terhadap perkembangan dunia kerja.  Oleh karena itu pendidikan kejuruan harus dapat responsif dan proaktif terhadap perkembangan ilmu dan teknologi, dengan menekankan pada upaya adaptabilitas dan fleksibilitas untuk menghadapi prospek karir anak didik dalam jangka panjang.
  6. Bengkel kerja dan laboratorium merupakan kelengkapan utama dalam pendidikan kejuruan, untuk dapat mewujudkan situasi belajar yang dapat mencerminkan situasi dunia kerja secara realistis dan edukatif.
  7. Hubungan kerjasama antara lembaga pendidikan kejuruan dengan dunia usaha dan industri merupakan suatu keharusan, seiring dengan tingginya tuntutan relevansi program pendidikan kejuruan dengan tuntutan dunia usaha dan industri.
Djojonegoro menjelaskan pendidikan kejuruan memiliki multi-fungsi yang jika dilaksanakan dengan baik akan memberikan kontribusi yang besar terhadap pencapaian tujuan pembangunan nasional.  Fungsi-fungsi tersebut mencakup:
(a) Sosialisasi yaitu solidaritas, religi, seni, dan jasa;
(b) kontrol sosial yaitu kontrol perilaku dengan norma-norma kerjasama, keteraturan, kebersihan, kedisiplinan, kejujuran, keterbukaan;
(c) Seleksi dan alokasi yaitu mempersiapkan, memilih, dan menempatkan calon tenaga kerja sesuai dengan permintaan pasar kerja;
(d) Asimilasi dan Konservasi budaya yaitu absorbsi antar budaya masyarakat serta pemeliharaan budaya lokal;
(e) Mempromosikan perubahan demi perbaikan.
Pendidikan kejuruan tidak hanya mendidik dan melatih keterampilan yang ada, tetapi juga harus berfungsi sebagai pendorong perubahan.  Pendidikan kejuruan berfungsi sebagai proses akulturasi atau penyesuaian diri dengan perubahan dan enkulturasi atau pembawa perubahan bagi masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan kejuruan diharapkan tidak hanya adaptif tetapi juga harus antisipatif.
Selain fungsi di atas, Sudira juga mengemukakan bahwa pendidikan kejuruan juga memiliki tiga manfaat utama yaitu:
(a) bagi peserta didik, manfaat yang didapatkan adalah sebagai peningkatan kualitas diri, peningkatan peluang mendapatkan pekerjaan, peningkatan peluang berwirausaha, peningkatan penghasilan, penyiapan bekal pendidikan lebih lanjut, penyiapan diri bermasyarakat, berbangsa, bernegara, penyesuaian diri terhadap perubahan dan lingkungan;
(b) bagi dunia kerja, mereka dapat memperoleh tenaga kerja berkualitas tinggi, meringankan biaya usaha, membantu memajukan dan mengembangkan usaha;
(c) bagi masyarakat secara keseluruhan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan produktivitas nasional, meningkatkan penghasilan negara, mengurangi pengangguran.
Terdapat tiga model penyelenggaraan pendidikan kejuruan,
  • Model 1.  Dalam model 1 ini, pemerintah tidak memiliki peran, atau perannya hanya bersifat marginal dalam proses kualifikasi pendidikan kejuruan.  Model ini sifatnya liberal, namun model ini juga berorientasi pada pasar (market-oriented model) permintaan tenaga kerja.  Perusahaan-perusahaan sebagai pemeran utama juga dapat menciptakan desain pendidikan kejuruan yang tidak harus berdasarkan  pada prinsip pendidikan yang bersifat umum, dan pemerintah dalam hal ini tidak memiliki pengaruh kuat dalam melakukan intervensi terhadap perusahaan karena dalam hal ini perusahaan adalah sebagai sponsor dan pendukung dana.  Negara-negara yang menganut model ini adalah Inggris, Amerika Serikat dan Jepang.
  • Model 2.  Model ini sifatnya birokrat, pemerintah dalam hal ini yang menentukan  jenis  pendidikan apa yang  harus dilaksanakan di perusahaan, bagaimana desain silabusnya, begitu pula dalam hal pendanaan dan pelatihan yang harus dilaksanakan oleh perusahaan tidak selalu berdasarkan permintaan kebutuhan tenaga kerja ataupun jenis pekerjaan saat itu. Dalam hal ini, pemerintah sendiri yang melakukan perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian pendidikan kejuruan.  Walaupun model ini disebut juga model sekolah  (school model), pelatihan dapat dilaksanakan sepenuhnya di perusahaan. Beberapa negara seperti Perancis, Italia, Swedia serta banyak dunia ketiga juga melaksanakan model ini.
  • Model 3.  Pemerintah menyiapkan dan memberikan kondisi yang relatif terpadu dalam pendidikan kejuruan bagi perusahaan-perusahaan swasta dan sponsor swasta lainnya.  Model ini disebut juga model pasar dikontrol pemerintah (state controlled market).  model ini disebut model sistem ganda (dual system) yang sistem pembelajarannya dilaksanakan di dua lokasi, yaitu di sekolah kejuruan dan di mitra kerja (dunia usaha dan industri) yang keduanya saling membantu dalam menciptakan kemampuan kerja lulusan yang handal.  Negara yang menggunakan sistem ini diantaranya Swiss, Austria, Jerman dan Indonesia.
Kecenderungan yang digunakan di Indonesia adalah “Model 3”, yang pelaksanaan pendidikan sistem ganda tersebut dilaksanakan di dua lokasi yaitu di sekolah dan di industri sebagai mitra kerja sekolah kejuruan.  Menurut Djojonegoro (dalam Muliaty, 2007:9) pendidikan sistem ganda merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan keahlian kejuruan yang secara sistematik dan sinkron antara program pendidikan di sekolah dengan program penguasaan keahlian yang diperoleh.
1)      Pendidikan akademik.
          Pendidikan akademik adalah  system  pendidikan tinggi yang diarahkan pada penguasaan dan pengembangan disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni tertentu, yang mencakup program pendidikan sarjana, magister, dan doktor. Lulusannya mendapatkan gelar akademik sarjana, magister, dan doktor.
Sebagai contoh, lulusan pendidikan akademik sarjana ekonomi bergelar S.E., sarjana kedokteran mendapat gelar S.Med., sarjana teknik mendapat gelar S.T., dan sarjana pendidikan bergelar S.Pd.; demikian juga gelar magisternya sesuai dengan bidang atau rumpun ilmu; sedangkan gelar pendidikan doktor sama, yakni Dr.
Lazimnya, pendidikan sarjana diarahkan untuk penerapan ilmu, pendidikan  magister diarahkan  untuk pengembangan ilmu, dan pendidikan doktor diarahkan untuk penemuan ilmu.
2)        Pendidikan Profesi
Yaitu suatu pendidikan  tinggi yang diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik agar memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Pendidikan profesi juga diartikan sebagai suatu sistem pendidikan tinggi setelah program pendidikan sarjana yang menyiapkan peserta didik untuk menguasai keahlian khusus. Lulusan pendidikan profesi mendapatkan gelar profesi.
Sebagai contoh, setelah bergelar S.E, seseorang menempuh pendidikan profesi Akuntan, maka dia bergelar S.E. Ak; setelah bergelar S.Med., seseorang menempuh pendidikan profesi dokter, maka dia mendapat gelar dr. (dokter) dan seorang yang telah begelar profesi dokter (umum) melanjutkan ke program pendidikan spesialis (PPDS), dia mendapat gelar spesialis tententu, misalnya, dr. Sp.M (spesialis Mata), dr. Sp.A (spesialis Anak), dr. SpKJ (spesialis Kesehatan Jiwa), dsb.
3)        Pendidikan Vokasi
Yaitu pendidikan tinggi yang diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik agar  memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana. Pendidikan vokasi juga merupakan sistem pendidikan tinggi yang diarahkan pada penguasaan keahlian terapan tertentu, yang mencakup program pendidikan diploma I, diploma II, diploma III, dan diploma IV. Lulusan pendidikan vokasi mendapatkan gelar vokasi, misalnya A.Ma (Ahli Madya), A.Md (Ahli Madya).
4)      Pendidkan Keagamaan
Yaitu pendidikan dasar, menengah dan  tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan ilmu pengetahuan tentang ajaran agama atau menjadi ahli ilmu agama. Contohnya : Pesantren, MI, MTS, MA, MAK, dan Sekolah Tinggi Theologia.
5)           Pendidikan Khusus
Yaitu pendidikan yang diselenggarakan bagi peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif. Ciontohnya: Sekolah Luar Biasa Istilah "pendidikan luar biasa" atau "pendidikan khusus" adalah terjemahan dari "special education". Hingga awal tahun 1970-an Special education didefinisikan sebagai profesi yang dimaksudkan untuk mengelola variabel-variabel pendidikan guna mencegah, mengurangi, atau menghilangkan kondisi-kondisi yang mengakibatkan gangguan-gangguan yang signifikan terhadap keberfungsian anak dalam bidang akademik, komunikasi, lokomotor, atau penyesuaian, dan anak yang menjadi targetnya disebut "exceptional children" ("anak berkelainan" atau "anak luar biasa" ).
Sejak tahun 1980-an, fokus special education adalah kebutuhan khusus anak dan intervensi lingkungan agar kebutuhan khusus anak itu dapat terpenuhi. Anak yang menjadi fokus special education itu disebut "children with special needs". Oleh karena itu, Wikipedia mendefinisikan special education sebagai berikut:
Kebutuhan khusus tersebut adalah yang diakibatkan oleh berbagai kategori disabilitas dan keberbakatan (giftedness). "Pendidikan khusus" merupakan terjemahan langsung dari frase "special education", sedangkan "pendidikan luar biasa" merupakan terjemahan yang sudah disisipi nuansa rasa. Frase "luar biasa" selalu mengandung rasa yang "dilebih-lebihkan" (exagerated). Oleh karenanya, anak yang menjadi kajian PLB juga disebut "anak luar biasa"; padahal seharusnya kita menanamkan pemahaman bahwa mereka sesungguhnya anak biasa seperti anak-anak lainnya tetapi mereka memiliki kebutuhan khusus akibat disabilitasnya dan akibat lingkungan yang tidak aksesibel.
lawan dari special education adalah general education. Kalau kita menggunakan terjemahan langsung, maka kita dapat mengatakan bahwa lawan dari pendidikan khusus adalah pendidikan umum. Lalu, apa lawan dari pendidikan luar biasa? Pendidikan biasa? Tetapi istilah "pendidikan biasa" tidak lazim. Ini berarti bahwa ada sesuatu yang salah dengan istilah "pendidikan luar biasa".
Di atas semua itu, undang-undang RI membenarkan penggunaan istilah pendidikan khusus. Istilah pendidikan khusus digunakan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 32 undang-undang tersebut menggariskan bahwa "Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa."
Berdasarkan semua argumentasi yang telah dikemukakan dalam tulisan ini, maka jurusan yang selama ini disebut "pendidikan luar biasa" (di jenjang S1) dan "pendidikan kebutuhan khusus" (di jenjang S2) seharusnya diberi nama "Pendidikan Khusus". Di pihak lain, peserta didik yang menjadi fokus kajian pendidikan khusus seyogyanya kita sebut "anak berkebutuhan khusus". Perlu ditekankan kembali bahwa kebutuhan khusus anak-anak ini adalah akibat disabilitas atau keberbakatan. Adapun sekolah yang secara segregasi melayani anak berkebutuhan khusus ini seharusnya kita sebut sebagai "sekolah khusus", bukan "sekolah luar biasa". Di samping itu, anak-anak ini juga dapat memilih bersekolah di sekolah umum dengan setting pendidikan inklusif. Agar kehadiran, partisipasi dan keberhasilan anak-anak ini di sekolah umum dapat optimal, mereka perlu mendapat layanan pendidikan khusus.
3.      Metodologi Pendidikan dalam Al-Qur’an
Dalam metodologi pendidikan diperlukan adanya sebuah konsep yang menurut peneliti, jika ingin membuat konsep-konsep pendidikan yang mengacu pada ajaran Islam maka penting untuk melihat landasan Islam itu sendiri. Oleh karena itu metodologi pendidikan  yang ada pun harus diambil dari landasan Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah yang mengatakan, “Sesungguhnya telah aku tinggalkan kepadamu dua perkara yang bila kamu berpegang teguh kepadanya pasti tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu al-Qur’an dan Sunnahku” (HR. Bukhari). Keduanya menjadi basis atau dasar dalam pendidikan Islam tersebut.
Setidak-tidaknya ada dua alasan besar yang bisa disebutkan bahwa al-Qur’an berperan besar melakukan proses pendidikan kepada ummat manusia.
 Pertama, Al-Qur’an banyak menggunakan term-term yang mewakili dunia pendidikan, misalnya term Ilmu yang diungkap sebanyak 94 kali (belum termasuk turunan katanya), hikmah yang menggambarkan keilmuan diungkap sebanyak 20 kali, ya’kilûn yang menggambarkan proses berfikir diungkap sebanyak 24 kali, ta’lam yang diungkap sebanyak 12 kali, ta’lamûna yang diungkap sebanyak 56 kali, yasma’ûn yang diungkap sebanyak 19 kali, yazakkaru yang diungkap sebanyak 6 kali, dan term-term lainnya.
Kedua, Al-Qur’an mendorong ummat manusia berfikir dan melakukan analisa pada fenomena yang berada di sekitar kehidupan manusia itu sendiri. Dalam hal ini, al-Nahlawy menjelaskan bahwa ada empat cara tahapan al-Qur’an melakukan hal tersebut yaitu :
  1. Al-Quran mengungkapkan realita-realita yang dihadapi langsung oleh manusia, seperti laut, gunung, bulan dan lain sebagainya. Kemudian al-Qur’an mendorong akal manusia untuk merenungkan proses tersebut. Pada konteks ini al-Qur’an selalu memberikan motifasi bahwa semua ini adalah tanda-tanda bagi komunitas yang berakal.
  2. Al-Qur’an memberikan jawaban  terhadap pertanyaan-pertanyaan manusia terkait tentang alam semesta.
  3. Al-Qur’an mendorong fitrah manusia untuk menyadari bahwa realitas alam ini butuh satu kekuatan yang mengatur, penjaga keseimbangan, ada keterkaitan yang erat antara sang Pencipta dan ciptaan-Nya, dan pada akhirnya sampai pada kesimpulan tentang hubungan antara manusia dengan Sang Khalik tersebut, Allah SWT.
  4. Al-Qur’an mendorong manusia untuk tunduk dan khusyu’ kepada Sang Khalik, diikuti kesiapan untuk merealisasikan kesadaran tersebut.
Keistimewaan proses pendidikan yang digambarkan al-Qur’an ini nampak pada segi penyampaian argumennya. Argumen pada ayat-ayat al-Qur’an tersebut selalu dibangun beriringan dengan ayat-ayat kauniyah, dimana pola tersebut ikut menata kemampuan fikir, gerak dan intuisi yang ada pada manusia. Kesemuanya ini memperlihatkan bahwa al-Qur’an telah melakukan upaya sangat positif dalam melakukan proses pendidikan terkait wawasan eksistensi manusia.
Menurut Syaikh Saltut, al-Qur’an mengunakan empat cara dalam menjelaskan pendidikan yang ada dalam ayat-ayatnya, yaitu:
  1. Melalui pendidikan  pada manusia agar  terdorong  meneliti, mentadabburi kekuasaan jagad raya ciptaan Allah SWT. Hal ini merupakan bentuk pemuliaan Allah kepada akal manusia, sehingga manusia mampu mencerahkan keagungan ciptaan-Nya seperti udara, air, guna pemberdayaan tugas kekhalifahan;
  2. Melalui pendekatan cerita-cerita ummat masa silam, baik kisah yang berjaya karena keshalehannya maupun yang mendapatkan azab karena kedzalimannya. Penyebutan kisah tersebut lebih kepada ittiba’, bukan dalam tataran kajian historisnya ataupun sekedar parade ketokohan;
  3. Melalui penyadaran perasaan sehingga mampu mencerna sunatullah dalam kehidupan;
  4. Melalui pendekatan berita-berita kabar gembira atau ancaman.
Dalam menjelaskan setiap ayat-ayatnya, al-Qur’an memiliki metodologi yang beragam dalam menjelaskan ayat-ayatnya. Menurut Muhammad Arifin, gaya bahasa dan  ungkapan yang terdapat di dalam al-Qur’an menunjukkan fenomena bahwa pesan-pesan al-Qur’an mengandung nilai-nilai metodologis yang memiliki corak dan ragam sesuai situasi, kondisi, dan sasaran yang dihadapi. Di dalam mengunakan cara dengan pendekatan  perintah dan larangan (‘amr wa nahi), Allah senantiasa memperhatikan  kadar  kemampuan  masing-masing  hamba-Nya, sehingga ‘taklif’ (beban)  itu berbeda-beda meskipun dalam tugas yang sama. Sistem pendekatan metodologis yang diungkapkan al-Qur’an bersifat multi approach, yang meliputi pendekatan religius, filosofis, sosio kultural dan scientific.
Akhlak juga sering kali dikaitkan dengan proses pendidikan, karena pendidikan tanpa akhlak akan menjadi suatu kesatuan yang kurang sempurna. Maka amatlah tepat jika pendidikan dalam Islam bisa menerapkan metodologi pendidikan dengan akhlak yang tergambar dalam al-Qur’an.
Dalam perspektif Islam, akhlak terkait erat dengan ajaran dan sumber Islam, yaitu wahyu. Sehingga sikap dan penilaian akhlak selalu dihubungkan dengan  ketentuan syariah  dan aturannya. Tidak bisa dikatakan sikap ini baik atau buruk hanya bersandar  pada  pendapat  seseorang  ataupun kelompok,  karena bisa jadi  pendapat  tentang  kebaikan dan  keburukan suatu hal bisa berbeda antara dua orang ataupun dua kelompok. Perbedaan itulah yang selalu muncul dalam kajian falsafah masa  klasik ataupun modern. Para filosof akhlak hingga kini belum bersepakat tentang tolak ukur konsep akhlak tersebut, ada yang berstandar  pada  akal, ada pula yang berstandar pada perasaan dan kebiasaan serta asas  kebaikan dan keburukan, dan lain sebagainya. 
Menurut Amin Abu Lawi, akhlak dalam  perspektif Islam mempunyai nilai samawi yang bersumber dari al-Qur’an. Menurutnya, akhlak dapat dimaknai dengan mengacu kepada hukum dan ketetapan syari’ah yang lima, yaitu hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram, karena itulah realitas akhlak . Lebih lanjut dijelaskan bahwa bila akhlak berbasis kepada hukum yang lima, maka klasifikasinya seperti berikut ini: akhlak wajib, seperti prilaku jujur, amanah, iklas dan seterusnya; akhlak sunnah seperti mengucapkan salam, memberi makan dan sedekah; akhlak mubah, seperti bermain dan bersendau gurau dengan teman; akhlak makruh seperti tidak berinteraksi dengan masyarakan dan hidup menyendiri; akhlak haram seperti berzina, minum khamar, berdusta, berkhianat, mencuri dan lain sebagainya.
Selain itu, sumber akhlak lainnya adalah sunnah nabi Muhammad SAW. Pandangan ini berdalil pada pendapat Aisyah ra ketika menafsirkan akhlak rasul yang tergambar dalam “al-khuluq al-a’dim” (QS. Al-Qalam: 4), yaitu al-Qur’an. Riwayat Muslim tersebut di-syarah-kan oleh Imam Nawawi dalam kitab shalat, bahwa makna kalimat ‘akhlak rasulullah itu adalah al-Qur’an’ adalah rasulullah mengamalkan al-Qur’an, patuh pada ketentuan-ketentuanNya, beradab dengan al-Qur’an, mengambil i’tibar dari perumpamaan dan kisah-kisah di dalamnya, mentaddaburinya serta membacanya dengan baik.  Lebih jauh lagi, akhlak bagi seorang muslim adalah melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi laranganNya sesuai yang diajarkan Rasulullah saw
Dalam dunia pendidikan Islam, orientasi pendidikan Islam diarahkan untuk menumbuhkan integrasi antara iman, ilmu, amal, dan akhlak. Semua dimensi itu bergerak saling melengkapi satu sama lain sehingga mampu mewujudkan ‘insan yang shaleh’ (manusia sempurna) atau pribadi yang utuh Perpaduan seluruh dimensi itu telah menjadi idealisme yang sering digambarkan dalam ajaran Islam. Hanya pribadi yang memiliki perpaduan potensi itulah yang layak untuk menjalankan fungsinya sebagai khalîfat fî al-‘ard dengan kewenangannya mengelola, melestarikan, memakmurkan, dan memberdayakan alam. Dari pandangan ini kita bisa melihat karakteristik pemahaman Islam terhadap hakekat pendidikan akhlak, yaitu:
  1. tidak terkungkung pada teks-teks saja,
  2. integral karena mencakup berbagai sisi positif untuk melakukan pendidikan menyeluruh,
  3. menggunakan berbagai macam pendekatan dan memiliki metodologis pengajarannya luas,
  4. tidak terpaku pada satu teori yang diungkapkan para pemikir dalam Islam karena pendapat mereka hanya parsial dari makna akhlak itu sendiri,
  5. melakukan pelatihan pada pelaku pendidikan karena tidak cukup hanya memberikan pandangan ilmiah dan teori semata,
  6. pembentukan manusia dari sisi kebutuhan masyarakat dan kemanusiaan, hal ini dibangun dari rasa solidaritas, memahami hak asasi manusia, yang semua itu dilakukan di bawah naungan ibadah kepada Allah SWT.   
Ketujuh karakteristik ini menuntun manusia untuk mencapai tujuan akhir dari pendidikan akhlak, yaitu mendorong jiwa seorang mukmin untuk mencintai syari’ah agamanya, menanamkan nilai syariah dalam jiwa mereka, membangun pemahaman tentang figuritas keteladanan dalam akhlak dan memotivasi berperilaku mereka dengan sifat-sifat yang terpuji dalam perkembangan akhlak. Dengan kata lain, esensi dari pendidikan akhlak adalah melahirkan manusia yang berpribadi muslim yang taat terhadap hukum dan ketetapan syari’ah Islam. Jika akhlak diartikan seperti pemahaman Ibnu Miskawih yang menekankan bahwa akhlak adalah perbuatan yang dilakukan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan, maka pendidikan akhlak menjadi upaya melahirkan manusia berpribadi muslim yang mudah untuk melaksanakan ketentuan hukum dan ketetapan syari’ah agama, dan sikap taat tersebut selalu menjadi sifatnya ketika berhadapan dengan ketentuan agama, tanpa banyak alasan untuk tidak melaksanakannya.







 
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pengertian metodologi pendidikan islam merupakan suatu ilmu pengetahuan tentang metode yang dipergunakan dalam pekerjaan mendidik. Metodologi pendidikan islam memberikan tugas dan fungsi memberikan jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi pelaksanaan dari ilmu pendidikan islam tersebut. Pelaksanaannya berada dalam ruang lingkup proses kependidikan yang diciptakan unuk mencapai tujuan pendidikan islam.
Jenis-jenis pendidikan itu sendiri bermacam-macam diantaranya yaitu, pendidkan Umum, pendidikan kejuruan, pendidikan akademik, pendidikan profesi, pendidikan vokasi, pendidikan keagamaan dan pendidikan khusus.
Metodologi dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an disebut berperan besar dalam melakukan proses pendidikan karena memiliki dua alasan, yaitu : Pertama, Al-Qur’an banyak menggunakan term-term  yang  mewakili dunia pendidikan. Kedua, Al-Qur’an mendorong ummat manusia berfikir dan melakukan analisa pada fenomena yang berada di sekitar kehidupan manusia itu sendiri.
B.     Saran
            Dari hasil penulisan makalah ini, penulis berharap kepada teman-teman mahasiswa atau mahasiswi untuk lebih banyak lagi membaca di buku-buku lain agar memperoleh pengetahuan yang luas tentang “Metodologi Pendidikan Islam”. Karena penulis merasa bahwa makalah ini jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun pembahasan. Maka dari itu, kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semuanya.



DAFTAR PUSTAKA
§       Nur Uhbiyat dan Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam,( Bandung, Pustaka Setia : 1997)

§       Sudiyono.H.M. Drs; Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), Jilid Ke-1.


No comments:

Post a Comment