MAKALAH
ILMU KALAM
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Aqidah ilmu kalam sebagaimana
diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang yang
ingin menyelami seluk-beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari akidah
yang terdapat dalam agamanya. Mempelajari akidah/teologi akan memberi seseorang
keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang kuat , yang tidak mudah
diombang-ambingkan oleh peredaran zaman.
Teologi dalam Islam disebut juga ilmu
At-Tauhid. Kata Tauhid mengandung arti satu/esa dan keEsaan dalam pandangan
Islam merupakan sifat yang terpenting diantara sifat-sifat Tuhan. Teologi Islam
disebut juga ilmu kalam.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian
dari ilmu kalam ?
2. Apa pengertian
dari tauhid ?
3. Bagaimana
sejarah muncul imu kalam ?
4. Apa saja ruang
lingkup ilmu kalam ?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari ilmu kalam ?
2. Untuk mengetahui
apa pengertian dari tauhid ?
3. Untuk
mengetahui sejarah muncul imu kalam ?
4. Untuk
mengetahui ruang lingkup ilmu kalam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu Kalam adalah suatu ilmu yang membahas tentang akidah
dengan dalil-dalil aqliyah (rasional ilmiah) dan sebagai tameng terhadap segala
tantangan dari para penentang.
Abu Hanifah menyebut nama ilmu ini dengan fiqh al-akbar.Menurut
persepsinya, hukum islam yang dikenal dengan istilah fiqh terbagi atas dua
bagian. Pertama,fiqh al-akbar, membahas keyakinan atau pokok-pokok agama
atau ilmu tauhid. Kedua, fiqh al-ashghar, membahas hal-hal yang
berkaitan dengan masalah muamalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya cabang saja. Al-Farabi
mendefinisikan Ilmu Kalam sebagai disiplin ilmu yang membahas Dzat dan Sifat
Allah beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan
masalah setelah kematian yang berlandaskan doktrin Islam. Penekanan akhirnya
adalah menghasilkan ilmu ketuhanan secara filosofis.
Adapun Ibnu Khaldun mendefinisikan Ilmu
Kalam adalah disiplin ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah
imani yang diperkuat dalil-dalil rasional.
Sedangkan Musthafa Abdul Raziq
berpendapat bahwa ilmu ini ( ilmu kalam) bersandar kepada
argumentasi-argumentsi rasional yang berkaitan dengan aqidah imaniah, atau
sebuah kajian tentang aqidah Islamiyah yang bersandar kepada nalar.
Menurut Ahmad Hanafi, di dalam nash-nash
kuno tidak terdapat perkataan al-Kalam yang menunjukkan suatu ilmu yang
berdiri sendiri sebagaimana yang diartikan sekarang. Arti semula dari istilah al-Kalam
adalah kata-kata yang tersusun yang menunjukkan suatu maksud Kemudian dipakai untuk
menunjukkan salah satu sifat Tuhan, yaitu sifat berbicara. Sebagai contoh,
kata-kata kalamullah banyak terdapat dalam al-Qur’an, diantaranya pada
Surah al-Baqarah ayat 75, 253, dan Surah an-Nisa’ ayat 164.
Penggunaan al-Kalam sebagai
suatu ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana kita kenal saat ini pertama kali
digunakan pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, tepatnya pada masa khalifah
Al-Ma’mun.Sebelumnya, pembahasan tentang kepercayaan-kepercayaan dalam islam
disebut al-fiqh fi ad-din, sebagai imbangan terhadap al-fiqh fi
al-ilm yang diartikan ilmu hukum ( ilmu qanun ). Biasannya mereka
menyebutkan al-fiqhi fiddiniafdhalu minal fiqhi fil ‘ilmi, ilmu aqidah
lebih baik dari ilmu hukum.
Adapun yang melatarbelakangi mengapa ilmuini dinamakan
Ilmu Kalam adalah :
1. Permasalahan terpenting yang menjadi
tema perbincangan pada masa permulaan Islam adalah masalah firman Allah ( Kalam
Allah ), yaitu al-Qur’an. Apakah Kalamullah tersebut qadim atau
hadits ( baru )? Walaupun permasalahan ini hanya merupakan salah satu bagian
dari pembahasan ilmu ketuhanan dalam Islam, namun karena ia menjadi bagian
terpenting maka ilmu ini dinamai Ilmu Kalam.
2. Dalam membahas masalah-masalah
ketuhanan, para mutakallim ( ahli Ilmu Kalam ) menggunakan dalil-dalil
aqliyah dan dampaknya tercermin pada keahlian meraka dalam berargumentasi
dengan mengolah kata-kata. Dengan demikian, mutakallim diartikan juga dengan
ahli debat yang pintar memakai kata-kata.
3. Secara harfiah, kata kalam berarti
“pembicaraan”. Tetapi secara istilah, kalam tidaklah dimaksudkan “pembicaraan”
dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang
bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalasm ialah
rasionalitas atau logika .
Sunber-sumber ilmu kalam dapat diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu dalil naqli ( al-Qur’an dan Hadits ) dan dalil aqli ( akal pemikiran
manusia ). Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber utama yang
menerangkan tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan
permasalahan aqidah Islamiyah uang lainnya. Para mutakallim tidak pernah
lepas dari-dari nash-nash al-Qur’an dan Hadits ketika berbicara masalah
ketuhanan. Masing-masing kelompok dalam ilmu kalam mencoba memahami dan
menafsirkan al-Qur’an dan Hadits lalu kemudian menjadikannya sebagai penguat
argumentasi mereka.
Berikut ini adalah sumber-sumber ilmu kalam:
1.
Al-Qur’an
Sebagai sumber ilmu kalam, Al-Qur’an banyak
menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan,di antarannya adalah :
a. Q.S. Al-Ikhlas : 1-4. Ayat ini
menunjukkan bahwa Allah Maha Esa.
b. Q.S. Asy-Syara : 7. Ayat ini
menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun di dunia ini. Ia Maha Mendengar
dan Maha Mengetahui.
c. Q.S. Al-Furqan : 59. Ayat ini
menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang bertahta di atas “Arsy”. Ia
pencipta langit,bumi, dan semua yang ada diantara keduannya.
d. Q.S.Al-Fath : 10. Ayat ini
menunjukkan Tuhan mempunyai “tangan” yang selalu berada diatas tangan
orang-orang yang melakukan sesuatu selama mereka berpegang teguh dengan janji
Allah.
e. Q.S. Thaha : 39. Ayat ini
menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “mata” yang selalu digunakan untuk memgawasi
seluruh gerak, termasuk gerakan hati makhluk-Nya.
Ayat-ayat diatas berkaitan dengan dzat,
sifat, asma, perbuatan,tuntunan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
eksistensi Tuhan. Hanya saja, penjelasan rinciannya tidak ditemukan. Oleh sebab
itu, para ahli berbeda pendapat dalam menginterpretasikan rinciannya.
Pembicaraan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan disistematisasikan
yang pada gilirannya menjadi sebuah ilmu yang dikenal dengan istilah ilmu
kalam.
2.
Hadist
Masalah-masalah dalam ilmu kalam juga
disinggung dalam banyak hadits, Diantarannya yaitu hadits yang menjelaskan
tentang iman, islam, dan ihsan termasuk menyinggu ilmu kalam,salah satu di
antaranya juga
Adapula beberapa Hadits yang kemudian
dipahami sebagian umat sebagai prediksi Nabi mengenai kemunculan berbagai
golongan dalam ilmu kalam, diantaranya :
“Hadits yang diriwayatkan dari
Abu Hurairah r.a. Ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Orang-orang Yahudi
akan terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan.”
“Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah
bin Umar. Ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Akan menimpa umatku yang
pernah menimpa Bani Israil, Bani Israil telah terpecah belah menjadi 72
golongan dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan
masuk neraka, kecuali satu golongan saja, “ Siapa mereka itu, wahai
Rasulullah?” tanya para sahabat. Rasulullah menjawab ‘mereka adalah yang
mengikuti jejakku dan sahabat-sahabatku’.
Syaikh Abdul Qadir mengomentari bahwa
Hadits yang berkaitan dengan masalah faksi umat ini, yang merupakan salah satu
kajiiian ilmu kalam, mempunyai sanad sangat banyak. Diantara sanad
yang sampai kepada Nabi adalah yang berasal dari berbagai sahabat, seperti
Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Ad-Darba, Jabir, Abu Said Al-Khudri, Abu Abi
Kaab, Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Abu Ummah, Watsilah bin Al-Aqsa.
Adapula pada riwayat yang hanya sampai
kepada sahabat. Diantaranya adalah Hadits yang mengatakan bahwa umat islam akan
terpecah belah kedalam beberapa golongan. Diantara golongan-golongan itu, hanya
satu saja yang benar, sedangkan yang lainnya sesat.
3.
Pemikiran Manusia
Sebagai salah satu sumber ilmu kalam,
pemikiran manusia berasal dari pemikiran umat islam sendiri dan pemikiran yang
berasal dari luar umat islam. Di dalam al-Qur’an, banyak sekali terdapat
ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berfikir dan menggunakan akalnya.
Dalam hal ini biasanya Al-Qur’an menggunakan redaksi tafakkur, tadabbur,
tadzakkur, tafaqqah, nazhar, fahima, aqala, ulul al-albab, ulul al-ilm, ulu
al-abshar, dan ulu an-nuha. Diantara ayat-ayat tersebut yaitu :
Artinya : “ Maka hendaklah manusia
memperhatikan dari apakah dia diciptakan. Dia diciptakan dari air yang
memancar. Yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada
perempuan.” ( Q.S. At-Thariq Ayat 5-7 )
Ayat-ayat yang lain dapat ditemukan pada Surah Muhammad :
24, An-Nahl : 68-69, Al-Isra’ : 44, Al-An’am : 97-98, At-Taubah : 122, Shad :
29, Az-Zummar : 9, Adz-Dzariyat : 47-49, Al-Ghatsiyah : 7-20, dan lain-lain.
Oleh karena itu, jika umat islam sangat termotivasi untuk
memaksimalkan penggunaan rasionya, hal itu bukan karena ada pengaruh dari pihak
luar saja, melainkan karena adanya perintah langsung dari ajaran agama mereka.
Hal inilah yang akhirnya menyebabkan sangat jelasnya penggunaan rasio dan
logika dalam pembahasan ilmu kalam.
Adapun sumber kalam berupa pemikiran dari luar Islam, Ahmad
Amin menyebutkan setidaknya ada tiga faktor penting.
Pertama, kebanyakan orang-orang yang memeluk Islam setelah kemenangannya,
pada awalnya mereka memeluk berbaga agama yaitu Yahudi, Nasrani, Manu,
Zoroaster, Brahmana, Sabiah, Atheisme, dan lain-lain.Mereka dilahirkan dan
dibesarkan dalam ajaran-ajaran agama ini. Bahkan diantara mereka ada yang
benar-benar memahami ajaran agama aslinya. Setelah fikiran mereka tenang dan
mereka benar-benar teguh memeluk agama Islam, mulailah mereka memikirkan
ajaran-ajaran agama mereka sebelumnya dan mengangkat persoalan-persoalanya lalu
memberinya corak baju keislaman.
Kedua,
golongan Mu’tazilah memusatkan perhatianya untuk dakwah Islam dengan membantah
argumentasi-argumentasi orang-orang yang memusuhi Islam. Untuk itu, mereka
tidak akan bias menolak lawa-lawannya kecuali sesudah mereka mempelajari
pendapat-pendapat serta alas an-alasan lawan mereka. Maka terjadilah
perdebatan-perdebatan yang rasional antar agama saat itu.
Ketiga, sebagaimana
pada faktor kedua dimana para mutakallimun sangat membutuhkan filsafat
Yununi untuk mengalahkan lawan-lawannya, maka mereka terpaksa mempelajari dan
mengambil manfaat dari ilmu logika, terutama dari sisi ketuhanannya. Misalnya
An-Nadham, seorang tokoh Mu’tazilah, ia mempelajari filsafat Aristoteles dan
menolak beberapa pendapatnya, demikian juga Abu al-Hudzail al-‘Allaf
4.
Insting
Secara Instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab
itu, kepercayaan adanya Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama.
Abbas Mahmoud Al-Akkad mengatakan bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul
agama dikalangan orang-orang primitif. Tylor justru mengatakan bahwa animism-anggapan adanya
kehidupan pada benda-benda mati- merupakan asal-usul kepercayaan adanya Tuhan.
Adapun Spencer mengatakan lain lagi. Ia mengatakan bahwa pemujaan terhadap
nenek moyang merupakan bentuk ibadah yang paling tua. Keduanya menganggap bahwa
animisme dan pemujaan terhadap nenek moyang sebagai asal-usul
kepercayaan dan ibadah tertua terhadap Tuhan Yang Maha Esa, lebih
dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman setiap manusia yang suka mengalami
mimpi.
Di dalam mimpi, seorang dapat bertemaan terhadap,
bercakap-cakap, bercengkerama, dan sebagainya dengan orang lain, bahkan dengan
orang yang telah mati sekalipun. Ketika seorang yang mimpi itu bangun, dirinya
tetap berada di tempat semula. Kondisi ini telah membentuk intuisi bagi setiap
orang yang telah bermimpi untuk meyakini bahwa apa yang telah dilakukannya
dalam mimpi adalah perbuatan roh lain, yang pada masanya roh itu akan segera
kembali. Dari pemujaan terhadap roh berkembang ke pemujaan terhadap matahari,
lalu lebih berkembang lagi pada pemujaan terhadap benda-benda langit atau alam
lainnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan adanya Tuhan,
secara instingtif, telah berkembang sejak keberadaan manusia pertama. Oleh
sebab itu, sangat wajar kalau William L. Reese mengatakan bahwa ilmu yang
berhubungan dengan ketuhanan, yang dikenal dengan istilah theologia,
telah berkembang sejak lama. Ia bahkan mengatakan bahwa teologi muncul dari
sebuah mitos ( thelogia was originally viewed as concerned with myth ).
Selanjutnya, teologi itu berkembang menjadi “ theology natural “ (
teologi alam ) dan “revealed theology “ ( teologi wahyu ).
C.
Sejarah Kemunculan Persoalan-Persoalan Ilmu Kalam
Sejarah dalam pendeklarasian ilmu kalam tidak luput dari
sejarah perpecahan prinsip teologi umat islam yang masih ketika itu dipicu
persoalan politik dan kedangkalan ukhuwah dalam prilaku perebutan singgasana
kekuasaan,bermula dari Peristiwa wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tanggal 8 juni
632 M melahirkan suatu perjuangan keagamaan dan politik dalam masyarkat islam
sehingga mengakibatkan timbulnya perpecahan di kalangan umat islam. Perpecahan
ini mulai memanas sejak Khalifah Utsman bin Affan mengambil kebijakan
mengangkat anggota keluarganya untuk menduduki posisi dalam struktur politik
dan jabatan penting, sehingga sebagian besar masyarakat islam tidak
senang dengan kebijakan tersebut. Puncaknya adalah saat Khalifah Utsman bin
Affan terbunuh saat sedang membaca Al-Qur’an dirumahnya.
Setelah khalifah ustman terbunuh maka kembali diumumkan
pergantian kekhalifahan selanjutnya dengan berpacu pada penolakan muawiyyah
atas terpilihnya Ali bin abi Thalib. banyak diantara yang semula berpihak
pada Ali kemudian terpecah dan keluar dari barisan militer ali bin abi Thalib
,Putusan hanya datang dari Allah dan harus kembali pada hukum dan ketetapan
Allah yang ada dalam Al-qur’an . La hukma illa Allah (tidak ada
perantara selain Allah) Hal ini tidak hanya mempunyai implikasi politik
yang tajam, tetapi juga meningkat kepada persoalan-persoalan teologi, yang
melahirkan beberapa aliran teologi yaitu:
a.
Khawarij: persoalan iman dan kufr (mu’min dan kafir)
Sebagai kelompok yang lahir dari
peristiwa politik, pendirian teologis khawarij –terutama yang berkaitan dengan
masalah iman dan kufur lebih bertendensi politis ketimbang ilmiah-teoritis.
Kebenaran pernyataan ini tak dapat disangka karena, seperti yang telah
diungkapkan sejalrah, Khawarij mula-mula memunculkan eprsoalan teologis seputar
masalah “apakah Ali dan pendukungnya adalah kafir atau tetap mukmin?””apakah
muawiyah dan pendukungnya telah kafir atau tetap mukmin?” jawaban atas
pertanyaan ini kemudian menjadi pijakan atas dasar teologi mereka. Menurut
mereka, Ali dan Muawiyah beserta para pendukungnyatelah melakukan tahkim kepada
manusia, berarti mereka telah berbuat dosa besar. Dansemua pelaku dosa besar
(mutabb al-kabirah), menurut semua subsekte Khawarij, kecuali Najdah, adalah
kafir dan akan disiksa di neraka selamanya. Subsekte Khawarij yang sangat
ekstrim, Azariqah, menggunakan istilah yang lebih “mengerikan” dari pada kafir
yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau
bergabung ke dalam barisan mereka, sedangkan pelaku dosa besar dalam pandangan
mereka telah beralih status keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan itu
berarti ia telah keluar dari Islam. Si kafir semacam ini akan kekal di neraka
bersama orang kafir lainnya.
Iman dalam pandangan Khawarij, tidak
semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan segala perintah kewajiban agama
juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perintah kewajiban agama juga
merupakan bagian dari keimanan, segala perbuatan yang berbau religius, termasuk
di dalam masalah kekuasaan adalah bagian dari keimanan, al-amal juz’un
al-iman). Dengan demikian, siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada
Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban
agama dan malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh khawarij.
b.
Murji’ah: masalah iman dan menentang pendapat Khawarij
Aliran murji’ah adalah aliran yang
memberikan reaksi terhadap pendapat aliran khawarij yang mengkafirkan orang
yang melakukan dosa besar adalah aliran murji’ah. Menurut kaum murjiah dosa
besar tidak mengakibatkan kekafiran. Apabila seorang mukmin melakukan dosa besar
tetap mukmin. Adapun hakikatnya, kita serahkan kepada Allah kelak di akhirat.
Dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu:
a) Iman adalah
percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak
merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang
tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan
melakukan dosa besar.
b) Dasar
keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat
tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk
mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik
dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
c) Ajaran pokok
murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a
yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun
teologis. Di bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap diam.
Itulah sebabnya, kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai the queieties (kelompok
bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membuat murjiah
selalu diam dalam persoalan politik.
c.
Paham Qadariyah dan Jabariyah: Memaksa
Dalam kitab Tarikh al-Firaq
al-Islamiyah, Ali musthafa al-Ghurabi menjelaskan bahwa menurut paham teologi
Aliran Qadariyah, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya; manusia
sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kemauannya
sendiri, dan manusia sendiriilah yang melakukan perbuatan-perbuatan jahat atas
kehendak dan kemauannya sendiri. Menurut paham mereka, manusia mempunyai
kebebasan dalam tingkah lakunya. Ia dapat berbuat baik kalau ia menghendakinya,
dan ia pula dapat berbuat jahat kalau ia menghendakinya. Aliran ini menolak paham
yang mengatakan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak
menurut kadar yang telah ditentukan sejak zaman azali. Selanjutnya pengarang
kitab Tarikh al-Firaq al-Islamiyah itu juga menyebutkan, bahwa menurut paham
Jabariyah, manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa. Manusia
tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai
pilihan dalam perbuatan-perbuatannya. Manusia dalam perbuatan-perbuatannya
dipaksa, dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.
Perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri mereka, tak ubahnya seperti
air yang mengalir, manusia tak ubahnya seperti bulu yang ditiup oleh angin, dia
akan melayang-layang ke arah mana angin bertiup. Menurut paham ini, segala
perbuatan manusia tidak merupakan sesuatu yang timbul dari kehendak dan kemauan
sendiri, tapi perbuatan yang dipaksakan kepada dirinya. Kalau seseorang
membunuh orang lain, maka perbuatannya itu bukanlah terjadi atas kehendaknya
sendiri, tetapi terjadi karena Qadha dan Qadar Tuhanlah yang menghendaki
demikian.
Dengan kata lain, dia membunuh bukanlah
atas kehendaknya sendiri, tetapi Tuhanlah yang memaksanya membunuh. Manusia
dalam paham ini hanya merupakan wayang yang digerakan oleh dalang. Manusia
berbuat dan bergerak karena digerakan oleh Tuhan. Tanpa gerak dari Tuham
manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Disamping kedua paham itu, terdapat pula
paham tengah antara paham Qadariyah yang dibawa oleh Ma’bad dan Ghailan dengan
paham Jabariyah yang dibawa oleh Jaham, yaitu paham kasb, yang dibawa oleh
al-Husain Ibn Muhammad al-Najjar dan Dirar Ibn ‘Amr. Menurut al-Syahrastani
dalam kitab al-Milal wa al-Nihal, dalam paham Kasb, Tuhanlah yang menciptakan
perbuatan-perbuatan manusia, baik perbuatan baik maupun perbuatan yang jahat.
Tetapi manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan itu.
Tenaga yang diciptakan dalam dirinya mempunyai daya untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Jadi menurut paham ini, Tuhan dan manusia bekerja sama
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia. Manusia tidak semata-mata dipaksa
dalam melakukan perbuatannya.
d.
Mu’tazilah : al-Ushul
al-Khamsah
Setiap pelaku dosa besar, menurut
mu’tazilah berada diposisi tengah diantara posisi mukmin dan posisi kafir, jika
pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertobat, ia akan dimasukkan kedalam
neraka selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan
dari pada siksaan orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh
mu’tazilah, seperti Wasil bin Atha dan Amir Amr bin Ubaid memperjelas sebutan
itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin attau kafir.
1) Al Tauhid (
Ke-Esa-an )
Tuhan dalam paham Mu’tazilah
betul-betul Esa dan tidak ada sesuatu yang serupa denganNya. Ia menolak paham anthromorpisme
(paham yang menggambarkan Tuhannya serupa dengan makhlukNya) dan juga menolak
paham beatic vision (Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala) untuk
menjaga kemurnian Kemaha esaan Tuhan, Mu’tazilah menolak sifat-sifat Tuhan yang
mempunyai wujud sendiri di luar Zat Tuhan. Hal ini tidak berarti Tuhan tak
diberi sifat, tetapi sifat-sifat itu tak terpisah dari ZatNya. Mu’tazilah
membagi sifat Tuhan kepada dua golongan :
a. Sifat-sifat
yang merupakan esensi Tuhan, disebut sifat dzatiyah, seperti al Wujud - al
Qadim – al Hayy dan lain sebagainya
b. Sifat-sifat
yang merupakan perbuatan Tuhan, disebut juga dengan sifat fi’liyah yang
mengandung arti hubungan antara Tuhan dengan makhlukNya, seperti al Iradah –
Kalam – al Adl, dan lain-lain.
Kedua sifat tersebut tak terpisah
atau berada di luar Zat Tuhan, Tuhan Berkehendak, Maha Kuasa dan sifat-sifat
lainnya semuanya bersama dengan Zat. Jadi antara Zat dan sifat tidak terpisah.
Pandangan tersebut mengandung unsur
teori yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa : penggerak pertama adalah akal,
sekaligus subyek yang berpikir.
2) Al ‘Adl
(Keadilan )
Paham keadilan dimaksudkan untuk
mensucikan Tuhan dari perbuatanNya. Hanya Tuhan lah yang berbuat adil, karena
Tuhan tidak akan berbuat zalim, bahkan semua perbuatan Tuhan adalah baik. Untuk
mengekspresikan kebaikan Tuhan, Mu’tazilah mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan
mendatangkan yang baik dan terbaik bagi manusia. Dari sini lah muncul paham al
Shalah wa al Aslah yakni paham Lutf atau rahmat Tuhan. Tuhan wajib
mencurahkan lutf bagi manusia, misalnya mengirim Nabi dan Rasul untuk membawa
petunjuk bagi manusia.
Keadilan Tuhan menuntut kebebasan bagi
manusia karena tidak ada artinya syari’ah dan pengutusan para Nabi dan Rasul
kepada yang tidak mempunyai kebebasan. Karena itu dalam pandangan Mu’tazilah,
manusia bebas menentukan perbuatannya.
3) Al Wa’d wa
al Wa’id (Janji dan Ancaman)
Ajaran ini merupakan kelanjutan dari
keadilan Tuhan, Tuhan tidak disebut adil jika ia tidak memberi pahala kepada
orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat buruk, karena itulah
yang dijanjikan oleh Tuhan. QS. Al Zalzalah ayat 7-8.
Terjemahnya :“Barang siapa yang
berbuat kebajikan seberat biji zarrah, niscaya dia akan lihat balasannya, dan
barang siapa yang berbuat keburukan seberat biji zarrah, niscaya dia akan
melihat balasannya pula.”
4) Manzilah
Baina Manzilatain (Posisi di antara dua tempat )
Posisi menengah atau fasik dalam
ajaran Mu’tazilah di tempati oleh orang-orang Islam yang berbuat dosa besar.
Pembuat dosa besar bukan kafir karena masih percaya kepada Tuhan dan Nabi
Muhammad saw, tetapi tidak juga dapat dikatakan mukmin karena imannya tidak
lagi sempurna, maka inilah sebenarnya keadilan (menempatkan sesuatu pada
tempatnya), akan tetapi di akhirat hanya ada syurga dan neraka, maka tempat
bagi orang-orang yang berbuat dosa adalah di neraka, hanya saja tidak sama
dengan orang-orang kafir sebab Tuhan tidak adil jika siksaannya sama dengan
orang kafir. Jadi lebih ringan dari orang kafir.
5) Amar Ma’ruf
, Nahi Munkar. ( Memerintahkan Kebaikan dan Melarang Keburukan ).
e.
Asy’ariyah: Mazhab Syafi’i
Pendiri mazhab Asya`irah adalah Abu
Al-Hasan Ali bin Ismail Asy`ari. Ia lahir pada tahun 260 H di Bashrah
dan wafat tahun 324 H di Baghdad. Sampai usia empat puluh tahun, ia adalah
salah satu murid Abu Ali Jubai yang mendukung mazhab Mu`tazilah. Abu Hasan
Asy`ari keluar dari mazhab Mu`tazilah pada tahun 300 H. Setelah mengadakan
beberapa perbaikan dalam ajaran Ahlul hadits, Abu Hasan Asy`ari mendirikan
mazhab baru, yang berlawanan dengan Ahlul hadits dan juga Mu`tazilah. Dalam bidang
fikih, Abu Hasan Asy`ari mengikuti mazhab Syafi`i. Di masa sekarang, sebagian
besar pengikutnya juga berkiblat kepada Imam Syafi`i dalam masalah hukum.
Tehadap pelaku dosa besar, agaknya
asy’ari, sebagai wakil ahl al-sunnah tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud
ke baitullah (ahl al-qiblah), walaupun melakukan dosa besar seperti berzina dan
mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan
keimanan yang mereka miliki, selalipun berbuat dosa besar, akan tetapi, jika
dosa besar itu tetap dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan
(halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir. Adapun
balasan diakhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak
sempat bertobat, maka menurut al-asyari, hal itu bergantung pada kebijakan
tuhan yang maha berkehendak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku
dosa besar itu mendapat syafaat nabi SAW. Sehingga terbebas dari siksa neraka
atau kebalikannya, yaitu Tuhan memberinya siksaan neraka sesuai dengan ukuran
dosa yang dilakukannya. Meskipun begitu, ia tidak akan kekal di neraka seperti
orang-orang kafir lainnya. Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai ia akan
dimasukkan ke dalam surga. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa asy’ariyah
sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan murjiah khususnya tidak
mengkafirkan para pelaku dosa besar.
f.
Maturidiyah: Mazhab Ahmad bin Hambal
Maturidiyah didirikan oleh Abu Manshur
Muhammad bin Muhammad Maturidi, di daerah Maturid Samarqand, untuk melawan
mazhab Mu`tazilah. Abu Manshur Maturidi (wafat 333 H) menganut mazhab
Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu, kebanyakan pengikutnya juga
bermazhab Hanafi.
Setelah menelaah sekian riwayat tentang
munculnya ilmu kalam dan persoalan-persoalan disekitar ilmu kalam yang menjadi
simbolisasi dari ilmu manthiq dan logika , seakan menata barisan idiologi
tentang hal-hal yang mendoktrin untuk terus berfikir akan sesuatu yang telah
ada dan mencakup semua sejarah tentang perebutan kekuasaan, perbedaan cara
pandang dan sistem perpolitikan. Kaca perbandingan yang menyeluruh dari sekian
bentuk knowladge yang bermunculan seiring perkembangan zaman. Wallahu a’lam.
D.
Ruang Lingkup Aqidah Ilmu Kalam
Masalah yang dibahas dalam aqidah ilmu kalam adalah mempercayai
adanya Allah, Malaikat, Kitab-kitab Allah, Nabi dan Rasul Allah, hari
kiyamat,Qadha’ dan Qadar, Akhirat, akal dan wahyu, surga , neraka, dosa besar,
dan masalah iman dan kafir. yang diperkuat dengan-dengan dalil-dalil rasional
agar terhindar dari aqidah-aqidah yang menyimpang.
Harun lebih lanjut mengatakan bahwa
persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan
siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa
yang masih tetap dalam Islam. Khawarij sebagaimana yang telah disebutkan,
memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim yakni Ali,
Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah kafir berdasarkan firman
Allah surat Al-Maidah ayat 44.
Persoalan ini telah menimbulkan tiga alioran teologi
dalam Islam yaitu:
1) Aliran
Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti
telah keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
2) Aliran Murji’ah,
menegaskan bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir.
Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk
mengampuni atau menghukumnya.
3)
Aliran
Mu’tazilah , yang tidak menerima pendapat kedua diatas.
Pengertian Aqidah Ilmu kalam adalah artinya
ilmu yang mempelajari ikatan/keyakinan seseorang tentang masalah ketuhanan
dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan disertai alasan-alasan yang
rasional. Nama-nama ilmu kalam yaitu ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh
al-akbar dan teologi Islam. dan Ruang lingkupnya adalah tentang mengesakan
tuhan yang diperkuat dengan-dengan dalil-dalil rasional agar terhindar dari
aqiah-aqidah yang menyimpan.
Ø Pengertian
Imu Tauhid
Ditinjau dari sudut bahasa (etimologi ),kata tauhid adalah
merupakan bentuk kata mashdar dari asal kata kerja lampau yaitu : wahhada
yuwahhidu wahdah yang memiliki arti mengesakan atau menunggalkan .kemudian
ditegaskan oleh ibnu khaldun dalam kitabnya muqaddimah bahwa kata tauhid
mengandung makna keesaan tuhan. maka dari pengertian ithimologi
tersebut dapat diketahui bahwa tauhid mengandung makna meyakinkan
(mengi’tikadkan ) bahwa allah adalah satu tidak ad syrikat bagi-nya
Ditinjau dari sudut istilah (
terminologi ) , telah dipahami bersama bahwa setiap cabang ilmu pengetahuan itu
telah mempunyai obyek dan tujuan tertentu .karena itu setiap cabang ilmu
pengetahuan juga masing –masing mempunyai batasan – batasan tertentu pula .
demi batasan-batasan tersebut pengaruhnya adalah sangat besar bagi para ilmuan
dan cendikiawan didalam membahas, mengkaji , dan menelaah obek garapan dari
suatu cabang ilmu pengatahuan .
Demikian juga halnya pada kajian ilmu
tauhid yang telah di ta’rifkan oleh para ahli sebagai berikut :
a.
Syekh muhamad
abduh mengatakan bahwa :
Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud allah
dan sifat sifat yang wajib ada pada-nya ,dan sifat yang boleh ada padanya dan
sifat yang tidak harus ada pada-nya ( mustahi ) , ia juga membahas tentang para
rasul untuk menegaskan tugas risalahnya , sifat sifat yang wajib ada padanya
yang boleh ada padanya ( jaiz ) dan yang tidak ada padanya ( mustahil )
b. syekh husain
affandi al-jisral-tharablusymenta ’rifkan sebagai berikut :
Ilmu tauhid ialah ilmu yang membahas atau membicarakan
bagaimana menetapkan aqidah ( agama islam ) dengan menggunakan dalil-dalil yang
meyakinkan
Dari kedua ilmu ta’rif ilmu tauhid
tersebut itu dapat lah diambil suatu pengertian bahwa pada ta’rif pertama (
syekh muhamad abduh ) lebih menitik beratkan pada objek formal ilmu tauhid
yakni pembahasan tentang wuhud allah dengan segala sifat dan perbuatannya serta
membahas tentang para rasulnya , sifat-sifat dengan segala perbuatannya
.sedangkan pada ta’rif kedua ( sekh husain al-jisr) menekankan pada metode
pembahasannya yakni dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan , dan yang
dimaksud disini adalah dalil naqli maupun dalil aqli.dengan demikian ilmu
tauhid adalah salah satu cabang ilmu study keislaman yang lebih memfokuskan
pada pembahasan wujud allah dengan segala sifat nya serta tentang para rasul
nya , sifat – sifat dan segala perbuatannya dengan berbagai pendekatan .
Ø Objek Pembahasan Ilmu Tauhid
Obyek pembahasan atau yang menjadi
lapangan bahasan ilmu tauhid pada garis besarnya dibagi pada tiga bagian utama
yaitu :
1. Tauhid ilahiyah
(ketuhanan) yaitu bagian ilmu tauhid yang membahas masalah ketuhanan , hal ini
terdiri dari :
a) Tauhid
uluhiyyah yaitu membahas tentang keesaan allah dalam dzat –nya tidak terdiri
dari beberapa unsur atau oknum , dia (allah) sebagai dzat yang wajib disembah
dan dipuja dengan ikhlas ,semua pengabdian hambanya semata-mata hanya untuknya
seperti berdoa dan lain-lain sebagai mana yang dinyatakan dalam firman allah
swt dalam surat al-ikhlas ayat 1- 4
b) Tauhid
rububiyah , yaitu pembahasan tentang allah sebagai arrabu yaitu esa dalam
penciptaannya pemeliharaan dan pengaturan semua makluhnya sebagai firman allah
yang menjelaskan siapakah yang memberi rezeki pada manusia dalam surat yunus
ayat 31
c) Tauhid dzat ,
sifat – sifat dan nama – nama nya yaitu pembahasan tentang sifat sifat dan
nama-nama yang disebut sendiri oleh allah dan rasulnya yang tidak sama dengan makluhnya
sifat dan nama-nmanya adalah agung dan sempurna kita tidak boleh memberi nama
dan sifat yang dapat mengurangi keagungan dan kesempurnaan nya atau
menyusuaikan nama-nama dan sifat sifat itu dengan yang lain seperti
membagaimanakan , menggambarkan dan lain-lain .sebagaiman firman allah dalam
surat al-a’raaf ayat 180 .
2. Tauhid nubuwwah
( kenabian ) yaitu bagian ilmu tauhid yang membahas masalah kenabian ,kedudukan
dan peranan serta sifat sifat dan keistimewaannya , sebagaimana firman allah
dalam surat an-nahl ayat 43.
3. Tauhid
sam’iyyat ,yaitu sesuatu yang diperoleh lewat pendengaran dari sumber yang
meyakinkan yakni al-qur’an dan al-hadits ,misalnya tentang alam kubur , azab
kubur ,hari kebangkitan dipadang mashar ,alam akhirat ,tentang ’arsy ,lauh
mahfudz ,dan lain-lain seperti yang
disebutkan dalam firman allah surat az-zumar ayat 60 .
Ø Dasar-dasar Ilmu Tauhid
Syekh husain al-jisr menjelaskan bahwa
didalam membahas ilmu tauhid mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan yakni
dalil naqli dan aqli . dalil naqli adalah pengetahuan tentang masalah – masalah
agama yang diambil dari alquran dan hadis yang shaheh . dengan dalil naqli
tersebut diketahui keterangan – keterangan tentang tuhan dan segala sifat dan
perbuatannya serta menunjukan bahwa segala makhluh berada dalm lingkungan hukum
alam ( sunnah allah ) yang tidak berubah dan bertukar , sebagaimana tersebut
dalam firman allah surat al-fath ayat 23.
Jadi , sifat suatu dalil naqli adalah
sebagai pembuktian suatu dalil , dan merupakan akhir dari pembahasan yang
penjang sesuai dengan yang ditunjuk oleh dalil , sebagai contoh pembuktian
surat al-baqarah ayat 225 .
Adapun dalail naqli adalah pengetahuan
yang didapatkan dari keputusan akal yang sehat berdasarkan cara berfikir yang
telah ditentukan oleh ilmu pengetahuan , sifat dalil ini adalah sebagai sarana
penyimpulan keterangan suatu peristiwa , bertolak dari beberapa peristiwa nyata
kemudian diambil satu atau lebih kesimpulan yang benar , sebagai contoh adanya
teori gerak , bahwasanya setiap makluh merupakan kumpulan dari sejumlah gerakan
sebagai tanda kehidupannya dengan gerakan awal dan gerakan awal itu pasti ada
penggeraknya , yaitu tuhan allah SWT .
Ø Fungsi Ilmu Tauhid dalam Bidang Ilmu dan Amalan Islam
Berdasarkan pada pengertian dan
kedudukan ilmu tauhid yang mendasari semua keilmuan dan amalan dalam islam ,
maka ilmu tauhid berfungsi dalam ( 2 ) bidang yang salin terjalin antara yang
satu bidang dengan yang lainnya yaitu :
1. Dalam Bidang
I’tiqoyah
- ilmu tauhid berfungsi memberikan dasar dan landasan mental ( basic mentalty ) yang kuat bagi keimanan seorang muslim terhadap keesaan tuhan sebagai satu-satu nya sesembahan dalam ibadah ( tauhid uluhiyah )
- memberikan penerangan yang bersifat dakwah terhadap orang-orang non muslim untuk diajak beriman secara tauhid yang tidak bercampur dengan kemusrikan dengan penjelasan yang baik dan bijaksana , baik dalam artian menolak terhadap semua ajaran ketuhanan yang salah diinterpretasikan maupun bersifat operatif terhadap pemahaman yang bersifat merusak kemurnian tauhid .
- Dalam Bidang Ijtihad
Dalam bidang ini ilmu tauhid berfungsi :
a. Menjelaskan dan
membahas obyek ilmu tauhid secara ilmiah , dengan berdasarkan dalil naqli yang shahih
dan dikuatkan dengan dalil aqli yang tidak bertentangan / menyimpang dari
ajaran islam itu sendiri
b. Melengkapi
dasar dasar / landasan ilmiah bagi keimanan orang-orang islam yang sekaligus
berarti mempersenjatai mereka dengan dalil dalil ilmiyah . dengan demikian agar
orang orang islam memiliki kekebalan dan kemampuan terhadap unsur unsur yang
akan menggoyahkan keimanan mereka dalam bidang i’tiqad
c. Karena itu
dengan modal tersebut diharapkan dapat jadi pandangan atau sebagai falsafah hidup
bagi kaum muslimin dalam menjalani kehidupannya yang dalam hal ini sebagai ”
way of life ”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat
disimpulkan bahwa Ilmu
Kalam adalah suatu ilmu yang membahas tentang akidah dengan dalil-dalil aqliyah
(rasional ilmiah) dan sebagai tameng terhadap segala tantangan dari para
penentang dan sejarah dalam pendeklarasian ilmu kalam tidak luput dari sejarah
perpecahan prinsip teologi umat islam yang masih ketika itu dipicu persoalan
politik dan kedangkalan ukhuwah dalam prilaku perebutan singgasana kekuasaan
dan ilmu kalam tidak lepas dari ilmu tauhid , ilmu tauhid adalah salah
satu cabang ilmu study keislaman yang lebih memfokuskan pada pembahasan wujud
allah dengan segala sifat nya serta tentang para rasul nya , sifat – sifat dan
segala perbuatannya dengan berbagai pendekatan.
B. Saran
Saran
yang peyusun sampaikan sampaikan adalah sebagai berikut:
Ø Agar lebih giat belajar masalah ilmu kalam supaya bisa menuntaskan ilmu kalam
Ø Semoga makalah ini bisa menjadi bahan pembelajaran kita
semua dan menambah wawasan yang lebih
luas bagi kita semua.
No comments:
Post a Comment