Tuesday, 27 October 2015

MAKALAH PKN "Konsepsi Masyarakat Madani"



 MAKALAH PKN "Konsepsi Masyarakat Madani"


KATA  PENGANTAR
         Bismillahirrohmanirrohim
         Assalammu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
         Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah Pendidikan Kewarganegaraan mengenai “Konsepsi Masyarakat Madani”. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah.
         Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
         Dan atas terselesaikannya penyusunan makalah ini, tak lupa kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.      Bp Ujang Endang,S.Ag,M.Pd. selaku dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah membimbing dan mendidik kami sehingga kami menjadi mahasiswa yang berilmu.
2.      Semua pihak yang telah membantu penulis demi terselesainya makalah ini.
         Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi kami sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amin.         
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh.

Ciamis, Mei  2015

                Penulis                    




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR  .............................................................................................  i
DAFTAR ISI  .............................................................................................................  ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...........................................................................................  1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................  1
1.3 Tujuan ........................................................................................................  1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep Masyarakat Madani....................................................................... 2
2.2 Fungsi Masyarakat madani......................................................................... 2
2.3  Prinsip-prinsip Masyarakat Madani............................................................... 5
2.4 Nilai-nilai Masyarakat Madani                                                                    
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................  9
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN
 1.1   Latar Belakang Masalah
         Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.
         Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih. Gellner:1996).
 1.2   Rumusan Masalah
A.    Bagaimana konsep masyarakat madani?
B.     Bagaiman fungsi masyarakat madani dalam suatu Negara?
C.     Bagaimana prinsip-prinsip masyarakat madani?
D.    Bagaiman nilai-nilai masyarakat madani?

1.3    Tujuan
A.    Untuk mengetahui konsep masyarakat madani.
B.     Untuk mengetahui fungsi masyarakat madani dalam suatu Negara.
C.     Untuk mengetahui prinsip-prinsip masyarakat madani.
D.    Nuntuk mengetahui nilai-nilai masyarakat madani.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1        Konsep Masyarakat Madani
Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholis Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidak bersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.
Makna civil society adalah terjemahan dari masyarakat sipil. Konsep civil society lahir dan berkembang darisejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam ilsafat politikna. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai Negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278)
         Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
         Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
         Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).
2.2    Fungsi Masyarakat Madani dalam Suatu Negara
         Adapun fungsi masyarakat Madani dalam sebuah Negara dapat ideskripsikan sebagai berikut, yaitu
ü  Meniadakan ketidakadilan dan kesenjangan dalam masyarakat.
ü  Melindungi kepentingan penduduk yang universal. Kepentingan tersebut meliputi elemen sipil, politik dan social.
         Sebagaimana digambarkan oleh Anthony Giddens; Pembaharuan masyarakat Madani mensyaratkan adanya kemitraan antara pemerintah dan masyarakat madani, pembaharuan komunitas dengan meningkatkan prakarsa local, keterlibatan sector ketiga, perlindungan ruang public local, pencegahan kejahatan dengan basis komunitas dan adanya keluarga yang demokratis (Anthony Giddens, 1999).
Dengan demikian, maka peradaban yang besar adalah peradaban yang menciptakan lingkungan yang cocok secara politik, social, ekonomi, cultural dan material dan mengantarkan seseorang bisa mengamalkan pesan perintah-perintah Tuhan dalam seluruh aktifitasnya, tanpa harus dirintangi oleh institusi-institusi masyarakat. Insitutsi-institusi tersebut tidak boleh menyebabkan adanya kontadiksi antara keyakinan agama dan perbuatan, atau menekan seseorang untuk menyimpang dari kewajiban-kewajibannya terhadap Allah, Tuhan sekalian alam. Bagaimanapun majunya suatu peradaban dalam sains, literature dan seni; bagaimanapun warna-warninya pencapaian dalam arsitek, perlengkapan, pakaian dan makanan; bagaimanapun jauhnya peradaban itu meraih kemajuan material; dalam pandangan sejarawan muslim, itu tetap “terbelakang” dan “kurang” jika tidak mnyediakan lingkungan yang kondusif untuk pengabdian terhadap Tuhan dan pengamalan ajaran-ajaran-Nya yang terkandung dalam pesan syariat. (Akram Dhiyauddin Umari, 1999). Artinya dalam hal ini , menciptakan masyarakat yang memiliki dimensi ganda yakni dimensi kemanusiaan dan dimensi ke-Tuhanan, dimensi material dan spiritual, dimensi lahiriah-batiniah dan sebagainya.
2.3        Prinsip-prinsip Masyarakat Madani
         Masyarakat Madani yang dicontohkan oleh Nabi pada hakekatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat yang hanya mengenal supremasi kekuasaan pribadi seorang raja seperti yang selama itu menjadi pengertian umum tentang Negara.
1.         Persamaan (equality)
         Prinsip persamaan ini bisa ditemukan dalam suatu ide bahwa setiap orang tanpa memandang jenis kelamin, nasionalitas atau status semuanya adalah mahluk Tuhan. Dalam islam Tuhan menegaskan “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa” (Al-Hujurat,49:13). Nilai dasar ini dipandang memberikan landasan pemahaman bahwa di mata Tuhan manusia memiliki derajat yang sama. Pemahaman inilah yang kemudian muncul dalam Hadits Nabi yang menegaskan bahwa “tidak ada kelebihan antara orang arab dan orang yang bukan orang arab kecuali takwanya”. Dari sini kemudian dipahami bahwa islam memberikan dasar konsep tentang ekualitas. Berbeda dengan konsep ekualitas yang ada pada masyarakat Yunani, ekualitas yang ada dalam islam, misalnya, bukan menjadi subordinasi dari keadaan apa pun yang datang sebelumnya. Ekualitas menurut orang-orang Yunani hanya berarti dalam tatanan hukum. Dalam hal ini Hannah Arendt mengatakan bahwa bukan karena semua manusia lahir dalam keadaan sama, tetapi sebaliknya, karena manusia pada dasarnya memang tidak sama. Karena itu memerlukan sebuah institusi artifisial, polis untuk membuatnya sama (Hannah Arend,1963). Persamaan ini hanya ada di bidang politik yang memungkinkan orang bertemu satu sama lain sebagai warga negara dan bukan sebagai pribadi secara individual.
         Perbedaan antar konsep ekualitas Yunani Kuno dengan Islam terletak pada ide bahwa manusia lahir dan diciptakan sama dan menjadi tidak sama karena nilai sosial dan politik, yang merupakan institusi buatan manusia. Ekualitas yang terdapat dalam masyarakat Yunani merupakan sebuah atribut kemasyarakatan dan bukan perorangan, yang memperoleh ekualitasnya berdasarkan nilai kewarganegaraan dan bukan diperolehnya sejak lahir. Meskipun di dalam Islam ditemukan bahwa ekualitas juga terkait dengan pra-kondisi politik, yaitu keanggotaan di dalam ummah, tetapi pra-kondisi ini bisa dicapai oleh setiap orang hanya dengan jalan menyatakan masuk islam. Sementara dalam tradisi Yunani jalan untuk mencapai dunia politik, yang merupakan pra-kondisi nilai ekualitas, hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki kekayaan dan budak belian, sebuah kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan.
2.      Kebebasan dan Hak Asasi Manusia
         Dasar ajaran mengenai kebebasan ini memperoleh momentum penting dalam sejarah umat manusia, yang selalu diwarnai oleh tindakan pembelengguan hak serta kebebasan manusia. Sejarah mencatat bahwa mereka yang menjadi sasaran ketidakadilan selalu berada pada pihak kaum yang lemah. Budak oleh tuannya, kaum miskin oleh mereka yang kaya, rakyat oleh penguasa, yang bodoh oleh yang pandai, yang miskin spiritual dan agama oleh kaum pendeta atau ulama. Dunia seakan-akan tidak pernah kosong dari tindakan semena-mena manusia terhadap sesamanya, dalam kekaisaran Romawi kuno sejarah menyaksikan bagaimana bayi yang lahir dalam keadaan cacat sering menghadapi resiko mati karena kebijaksanaan kaisar yang menghendaki keperkasaan karena tuntutan perang. Di Mesir Kuno pernah diberlakukan perintah untuk membunuh bayi laki-laki hanya karena Fir’aun takut tergeser dari singgasananya. Sebaliknya di Arab Jahiliyah wanita dianggap tidak ada nilainya untuk sebuah harga diri bagi kehidupan bersuku, akibatnya setiap bayi perempuan lahir harus dikubur hidup-hidup.
Pengalaman hidup manusia seperti yang disebutkan di atas dan kondisi sosial masyarakat Arab sewaktu Islam muncul, yang sarat dengan perbudakan, memberikan suatu pemahaman bahwa secara semantis makna bebas (hurr) yang dimaksud oleh Islam itu berlawanan dengan budak (‘abd). Bukankah salah satu misi penting sosial Islam adalah membebaskan perbudakan. Selain wawasan kebebasan seperti yang dimaksudkan ini, sejak periode awal Islam beberapa pemikir Muslim juga mengembangkan doktrin ikhtiyar (pilihan atau kebebasan berkehendak), yang juga merupakan sebuah prakondisi substantif diterimanya konsep kebebasan seperti yang dipahami filsafat politik barat.
3.            Prinsip Musyawarah
         Al Qur’an tidak mentolelir adanya perbedaan antara yang satu dengan yang lain, laki atau wanita atas partisipasi yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Sejalan dengan pandangan ini, Al Qur’an menegaskan tentang prinsip syura (musyawarah) untuk mengatur proses pembuatan keputusan yang dilakukan masyarakat madani. Sayangnya, selama berabad-abad, dikalangan kaum muslimin telah tumbuh kekliruan fatal dalam menafsirkan karakteristik syura ini. Mereka memahami bahwa syura sama dengan seorang penguasa berkonsultasi dengan orang-orang yang menurut pandangan mereka, yang sangat bijaksana dan tidak ada keharusan untuk mengimplementasikan nasehat mereka. Pandangan ini menurut Fazlur Rahman, jelas merusak makna syura itu sendiri.
         Semasa pemerintahan Bani Umaiyah (41-132/661-750) tuntutan semacam ini tidak hanya terbatas pada perluasan penaklukan tetapi juga termasuk konsolidasi politik-militer ke dalam, karena sepanjang sejarah pemerintahan Umaiyah terjadi pemberontakan yang terus menerus. Pemerintah Umaiyah mengubah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh para khalifah terdahulu dengan memaksakan logika politinya sendiri yang dalam beberapa hal tidak memberikan kesempatan adanya partisipasi masyarakat. Kalau ada musyawarah, maka institusi ini hanya dilakukan dengan mereka yang mendukung rejim penguasa. Kenyataannya musyawarah kemudian menjadi komoditas politik yang Al Qur’an sendiri melarangnya. Perkembangan inilah yang kemudian mewarnai hubungan antara penguasa dan rakyat, yakni hubungan yang pada dasarnya berasal dari atas ke bawah, yang sesungguhnya bertentangan dengan makna syura itu sendiri.
3.4     Nilai-nilai Masarakat Madani
1.            Demokrasi
         Dampak praktis kehidupan politik Islam pada abad pertengahan nampaknya masih sangat membekas dalam kehidupan bernegara di dunia Islam sekarang ini. Meskipun masyarakat muslim sekarang sudah terbatas dari dominasi asing (secara fisik) dan memiliki pemerintahannya sendiri, tetapi hampir semua mereka ini dihadapkan pada problem internal, yaitu “kurang demokratis”. Kecuali Turki, kata Bernard Lewis, semua negara yang mayoritas penduduk muslim dipimpin oleh variasi dari rejim otoriter, otokrasi, despotis dan sebangsanya.(Bernard Lewis, 1996). Dari kalangan sosiolog, dunia Islam digambarkan telah mengalami masa transisi dari masyarakat yang berorientasi pada ekonomi moneter dan masyarakat demokratis kepada sebuah masyarakat agraris dan rejim militer. Dua kecenderungan yang mencerminkan watak masyarakat yang berbeda, yang pertama lebih bersifat dinamis dan rasional sedang yang kedua menggambarkan sifat tertutup. Gambaran seperti yang disebutkan di atas itu seakan-akan mengasumsikan bahwa Islam tidak mengenal pemerintahan yang demokrasi. Meskipun benar diakui bahwa konsep demokrasi masih juga menjadi salah satu isu perdebatan antara yang setuju dan yang menentang.
         Sejak kira-kira abada ke-19, beberapa pemimpin reformist Muslim menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan Islam dalam sektor kehidupan umum, pemerintahan harus ditegakkan berdasarkan atas kehendak rakyat banyak. Salah satu alasan yang menjadi pertimbangan bagi kaum reformist seperti Jama al-Din al-Afghani adalah karena tanpa partisipasi rakyat di dalam pemerintahan, maka negara Islam tidak akan kuat untuk menghadapi tekanan Barat. Alasan yang lain, agar kemajuan internal bisa dicapai, karena tanpa kemajuan, negara Islam akan tetap lemah, maka partisipasi masyarakat sangat diperlukan.
2.            Pluralisme dan Toleransi
         Istilah “Masyarakat Madani” dan civil society berasal dari dua sistem budaya yang berbeda. Masyarakat madani merujuk pada tradisi Arab-Islam sedang civil society tradisi barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan konteks asal istilah itu muncul. Oleh karena itu, pemaknaan lain diluar derivasi konteks asalnya akan  merusak makna aslinya. Ketidaksesuaian pemaknaan ini tidak hanya menimpa pada kelompok masyarakat yang menjadi sasaran aplikasi konsep tersebut tetapi juga para interpreter yang akan mengaplikasikannya. Hal lain yang berkaitan dengan perbedaan aplikasi kedua konsep masyarakat ini adalah bahwa civil society telah teruji secara terus menerus dalam tatanan kehidupan sosial politik barat hingga mencapai maknanya yang terakhir, yang turut membidani lahirnya peradaban Barat Modern.
         Sedangkan masyarakat madani seakan merupakan keterputusan konsep ummah yang merujuk pada masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad, idealisasi tatanan masyarakat madinah ini didasarkan atas keberhasilan Nabi mempraktekkan nilai-nilai keadilan, ekualitas, kebebasan, penegakan hukum dan jaminan kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan terhadap kaum lemah dan kelompok minoritas. Meskipun secara ideal eksistensi masyarakat Madinah ini hanya sebentar tetapi secara historis memberikan makna yang sangat penting sebagai rujukan masyarakat di kemudian hari untuk membangun kembali tatanan kehidupan yang sama. Dari pengalaman sejarah Islam masa lalu ini, masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad secara kualitatif dipandang oleh sebagian kalangan intelektual muslim sejajar dengan konsep civil society.
         Dasar tatanan masyarakat madani memperoleh legitimasi kuat pada landasan tekstual (nass) Al Qur’an maupun hadits dan praktek generasi awal Islam. Landasan ini tercermin dalam sikap budaya dan agama (cultural and religious attitude) seperti toleran dan pluralis, serta pengakuan atas hak-hak asasi manusia. Fazlur Rahman (1980), misalnya, mengidentifikasikan sikap ini dari simpulan makna beberapa ayat Al Qur’an dan menegaskan bahwa “karena semua ajaran Nabi berasal dari sumber yang sama, maka Nabi Muhammad memerintahkan ummatnya untuk meyakini semua wahyu Allah yang diturunkan kepada para Nabi”. Al Qur’an mengatakan bahwa Muhammad meyakini tidak hanya kitab Taurat dan Injil tetapi juga kepada semua yang diturunkan Allah (al-shura:15). Dalam pandangan Al Qur’an kebenaran serta petunjuk Tuhan tidak terbatas pada kaum tertentu tetapi secara universal berlaku untuk semua umat manusia: “tidak ada suatu ummat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan” (Fatir:24); “karena bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk” (al-Ra’d:7). Fazlur Rahman mengatakan bahwa kata “kitab” yang sering digunakan dalam Al Qur’an tidak untuk menunjuk kitab wahyu tertentu tetapi merupakan istilah generik yang menjelaskan totalitas wahyu Allah (al-Baqarah:213).
         Sikap toleran dan pluralis seorang muslim terhadap agama dan pendapat pemeluk agama lain jelas mendapat legitimasi dari ayat-ayat Al Qur’an dan preseden yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Salah satu tindakan pertama Nabi untuk mewujudkan masyarakat Madinah ialah menetapkan dokumen perjanjian yang disebut Piagam Madinah (Mitshaq al-Madinah), yang terkenal dengan “Konstitusi Madinah” Hamidullah menyebutkan bahwa Piagam Madinah merupakan konstitusi tertulis pertama yang ada di dunia yang meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi.
3.             Hak-Hak Asasi Manusia (HAM)
Konsep masyarakat madani dewasa ini telah mengambil peran sebagai sebuah agenda cita-cita masyarakat yang modern untuk Indonesia baru. Sekalipun masyarakat madani telah tiada secara fakta saat ini,  tetapi hikmah-hikmahnya tetap masih menyinari aspek-aspek masyarakat modern. Sebagaimana contoh yang diungkapkan oleh Nurcholish Madjid, contoh yang paling mudah dideteksi adalah konsep tentang hak asasi manusia. Dari segi pelaksanaan misi suci beliau, puncak karier Rosulullah saw, ialah terselenggaranya “pidato perpisahan” yakni (khutbah al-wada). Dalam pidato itulah pertama kalinya manusia diperkenalkan dengan konsep “hak-hak asasi”, dengan inti dan titik tolak kesucian “hidup, harta dan martabat kemanusiaan (ad-dima’ wa al-amwal wa al-a’radh), yang apabila dibahasa inggriskan akan terbaca : life, property and dignity atau life, fortune and sacred honor.”(Nurkholis Majid, 1996).
         Dalam pidato itulah Nabi menegaskan tugas suci beliau untuk menyeru ummat manusa kepada jalan Tuhan Yang Maha Esa dan menghormati apa yang menjadi hak-hak suci sesama umat manusia, lelaki dan perempuan. Isi pidato yang dikutip Nurcholish Madjid dari Ali Jarisyah dalam “Hurumat La Huquq” yakni: “.... sesungguhnya darahmu, harta bendamu dan kehormatanmu adalah suci atas kamu seperti sucinya hari (haji)mu ini, sampai tibanya hari kamu sekalian bertemu dengan Dia:. (Nurcholis Madjid,1995) kemudian fondasi hak-hak asasi manusia ini, diperkuat oleh Dekrit Tuhan, dari peristiwa pembunuhan pertama sesama manusia (oleh Qabil terhadap Habil).
“...... barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya .....” (Al-Maidah:27-31).
4.             Keadilan Sosial
         Adil dalam pandangan islam ialah setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya. Bukan setiap orang memperoleh bagian yang sama besarnya. Ini menunjukkan islam menghargai ikhtiar. Setiap orang  berhak beroleh kontra prestasi sebanding dengan prestasi yang diberikannya. Adapun prestasi adalah upaya-upaya yang wajar dalam sebah kompetisi yang jujur. Bukan hasil prestasi namanya jika beroleh sesuatu karena fasilitas.
         Relevansi keadilan sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yakni sangatlah dibutuhkan mengingat, perasaan teringkari dan juga diperlakukan secara tidak adil akan dengan sendirinya membuka pintu bagi adanya “wawasan revolusioner”. Yakni suat wawasan yang karena terpusat kepada usha mengubah yang tidak adil menjadi adil yang akan berdampak kepada memudarnya disiplin karena setiap aturan akan dipandang hanya menguntungkan mereka yang sedang beruntung. Maka dengan perkara perwujudan cita-cita dasar kita untuk bernegara yaitu “dengan mewujudkan keadilan sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia dipandang sangatlah signifikan.
         Dari sudut agama, masalah ini terkait dengan ‘hukum Allah’ (sunnatullah) bahwa kehancuran suatu masyarakat biasanya dimulai oleh tidak adannya keadilan sosial dalam masyarakat, akibat dari tingkah laku orang-orang kaya yang tidak lagi peduli kepada kewajiban moral mereka untuk memperhatikan nasib orang miskin. Dan sikap mereka yang tidak menjaga perasaan umum kalangan yang kurang beruntung. Sebagai landasan teologisnya juga sebagai ciri khas metode untuk sandaran perwujudan masyarakat madani adalah:
“Dan jika kami (Tuhan) hendak membinasakan suatu negeri, maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menta’ati Allah) namun mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya keputusan (vonis Tuhan). Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”
 (QS Al-Isra’:16)













BAB III
KESIMPULAN
Masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintahan mengikuti Undang Undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan atau predictability serta ketulusan atau transparency system.
Adapun fungsi masyarakat Madani dalam sebuah Negara dapat ideskripsikan sebagai berikut, yaitu : pertama, meniadakan ketidakadilan dan kesenjangan dalam masyarakat. Kedua, melindungi kepentingan penduduk yang universal. Kepentingan tersebut meliputi elemen sipil, politik dan sosial.
Masyarakat Madani yang dicontohkan oleh Nabi pada hakekatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat yang hanya mengenal supremasi kekuasaan pribadi seorang raja seperti yang selama itu menjadi pengertian umum tentang Negara. Meskipun secara eksplisit islam tidak berbicara tentang konsep politik, namun wawasan tentang demokrasi yang menjdi elemen dasar kehidupan politik masyarakat madani bisa ditemukan di dalamnya.









DAFTAR PUSTAKA
v  Endang, Ujang, Pendidikan Kewarganegaraan, 2015,
v  Rosyada, dede, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta, 2003, PRENADA MEDIA, ICE UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA, THE ASIA FOUNDATION.

No comments:

Post a Comment