MAKALAH PKN "Konsepsi Masyarakat Madani"
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Assalammu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT
atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah Pendidikan
Kewarganegaraan mengenai “Konsepsi Masyarakat Madani”. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata
kuliah.
Dalam Penulisan makalah ini
kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan
maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan
pembuatan makalah ini.
Dan atas terselesaikannya penyusunan makalah ini, tak lupa
kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Bp Ujang Endang,S.Ag,M.Pd. selaku dosen mata
kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah membimbing dan mendidik kami
sehingga kami menjadi mahasiswa yang berilmu.
2.
Semua pihak yang telah
membantu penulis demi terselesainya makalah ini.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan
menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi kami
sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amin.
Wassalamu’alaikum
warahmatullahi wabarokatuh.
Ciamis, Mei 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 1
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep Masyarakat Madani.......................................................................
2
2.2 Fungsi Masyarakat madani.........................................................................
2
2.3
Prinsip-prinsip
Masyarakat Madani............................................................... 5
2.4 Nilai-nilai Masyarakat Madani
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan
untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural.
Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang
sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan
implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar
Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini,
masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa
pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis
kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar
lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.
Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang
mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam
Ferguson merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil
(civil society), yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan
masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis.
Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual
dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari
masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau
berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu
bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral
dan instumental (lih. Gellner:1996).
1.2 Rumusan Masalah
A.
Bagaimana konsep masyarakat madani?
B.
Bagaiman fungsi masyarakat madani dalam suatu
Negara?
C.
Bagaimana prinsip-prinsip masyarakat madani?
D.
Bagaiman nilai-nilai masyarakat madani?
1.3
Tujuan
A.
Untuk mengetahui konsep masyarakat madani.
B.
Untuk mengetahui fungsi masyarakat madani dalam
suatu Negara.
C.
Untuk mengetahui prinsip-prinsip masyarakat
madani.
D.
Nuntuk mengetahui nilai-nilai masyarakat
madani.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Konsep Masyarakat Madani
Konsep “masyarakat madani” merupakan
penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali
mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia
oleh Nurcholis Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani
merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad.
Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidak bersalahan
pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.
Makna civil society adalah terjemahan dari
masyarakat sipil. Konsep civil society lahir dan berkembang darisejarah
pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan
kata “societies civilis” dalam ilsafat politikna. Konsep civil society pertama
kali dipahami sebagai Negara (state). Secara historis, istilah civil society
berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga
orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan
otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond,
2003: 278)
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk
menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil
society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan
pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan
ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan
lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan
buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans;
gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society
mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan
masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari
alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat
yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral
transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak
arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada
Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil,
sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate
(1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of
voluntary activity which takes place outside of government and the market.”
Merujuk pada Bahmueller (1997).
2.2 Fungsi Masyarakat Madani dalam
Suatu Negara
Adapun fungsi masyarakat
Madani dalam sebuah Negara dapat ideskripsikan sebagai berikut, yaitu
ü Meniadakan
ketidakadilan dan kesenjangan dalam masyarakat.
ü Melindungi
kepentingan penduduk yang universal. Kepentingan tersebut meliputi elemen
sipil, politik dan social.
Sebagaimana
digambarkan oleh Anthony Giddens; Pembaharuan masyarakat Madani mensyaratkan
adanya kemitraan antara pemerintah dan masyarakat madani, pembaharuan komunitas
dengan meningkatkan prakarsa local, keterlibatan sector ketiga, perlindungan
ruang public local, pencegahan kejahatan dengan basis komunitas dan adanya
keluarga yang demokratis (Anthony Giddens, 1999).
Dengan demikian, maka peradaban yang besar
adalah peradaban yang menciptakan lingkungan yang cocok secara politik, social,
ekonomi, cultural dan material dan mengantarkan seseorang bisa mengamalkan
pesan perintah-perintah Tuhan dalam seluruh aktifitasnya, tanpa harus
dirintangi oleh institusi-institusi masyarakat. Insitutsi-institusi tersebut
tidak boleh menyebabkan adanya kontadiksi antara keyakinan agama dan perbuatan,
atau menekan seseorang untuk menyimpang dari kewajiban-kewajibannya terhadap
Allah, Tuhan sekalian alam. Bagaimanapun majunya suatu peradaban dalam sains,
literature dan seni; bagaimanapun warna-warninya pencapaian dalam arsitek,
perlengkapan, pakaian dan makanan; bagaimanapun jauhnya peradaban itu meraih
kemajuan material; dalam pandangan sejarawan muslim, itu tetap “terbelakang”
dan “kurang” jika tidak mnyediakan lingkungan yang kondusif untuk pengabdian
terhadap Tuhan dan pengamalan ajaran-ajaran-Nya yang terkandung dalam pesan
syariat. (Akram Dhiyauddin Umari, 1999). Artinya dalam hal ini , menciptakan
masyarakat yang memiliki dimensi ganda yakni dimensi kemanusiaan dan dimensi
ke-Tuhanan, dimensi material dan spiritual, dimensi lahiriah-batiniah dan
sebagainya.
2.3
Prinsip-prinsip Masyarakat Madani
Masyarakat
Madani yang dicontohkan oleh Nabi pada hakekatnya adalah reformasi total
terhadap masyarakat yang hanya mengenal supremasi kekuasaan pribadi seorang
raja seperti yang selama itu menjadi pengertian umum tentang Negara.
1. Persamaan (equality)
Prinsip
persamaan ini bisa ditemukan dalam suatu ide bahwa setiap orang tanpa memandang
jenis kelamin, nasionalitas atau status semuanya adalah mahluk Tuhan. Dalam
islam Tuhan menegaskan “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa” (Al-Hujurat,49:13). Nilai dasar ini
dipandang memberikan landasan pemahaman bahwa di mata Tuhan manusia memiliki
derajat yang sama. Pemahaman inilah yang kemudian muncul dalam Hadits Nabi yang
menegaskan bahwa “tidak ada kelebihan antara orang arab dan orang yang bukan
orang arab kecuali takwanya”. Dari sini kemudian dipahami bahwa islam
memberikan dasar konsep tentang ekualitas. Berbeda dengan konsep ekualitas yang
ada pada masyarakat Yunani, ekualitas yang ada dalam islam, misalnya, bukan
menjadi subordinasi dari keadaan apa pun yang datang sebelumnya. Ekualitas
menurut orang-orang Yunani hanya berarti dalam tatanan hukum. Dalam hal ini
Hannah Arendt mengatakan bahwa bukan karena semua manusia lahir dalam keadaan
sama, tetapi sebaliknya, karena manusia pada dasarnya memang tidak sama. Karena
itu memerlukan sebuah institusi artifisial, polis untuk membuatnya sama (Hannah
Arend,1963). Persamaan ini hanya ada di bidang politik yang memungkinkan orang
bertemu satu sama lain sebagai warga negara dan bukan sebagai pribadi secara individual.
Perbedaan
antar konsep ekualitas Yunani Kuno dengan Islam terletak pada ide bahwa manusia
lahir dan diciptakan sama dan menjadi tidak sama karena nilai sosial dan
politik, yang merupakan institusi buatan manusia. Ekualitas yang terdapat dalam
masyarakat Yunani merupakan sebuah atribut kemasyarakatan dan bukan perorangan,
yang memperoleh ekualitasnya berdasarkan nilai kewarganegaraan dan bukan
diperolehnya sejak lahir. Meskipun di dalam Islam ditemukan bahwa ekualitas
juga terkait dengan pra-kondisi politik, yaitu keanggotaan di dalam ummah,
tetapi pra-kondisi ini bisa dicapai oleh setiap orang hanya dengan jalan
menyatakan masuk islam. Sementara dalam tradisi Yunani jalan untuk mencapai
dunia politik, yang merupakan pra-kondisi nilai ekualitas, hanya mungkin
dilakukan oleh mereka yang memiliki kekayaan dan budak belian, sebuah kelebihan
yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan.
2. Kebebasan dan Hak Asasi Manusia
Dasar
ajaran mengenai kebebasan ini memperoleh momentum penting dalam sejarah umat
manusia, yang selalu diwarnai oleh tindakan pembelengguan hak serta kebebasan
manusia. Sejarah mencatat bahwa mereka yang menjadi sasaran ketidakadilan
selalu berada pada pihak kaum yang lemah. Budak oleh tuannya, kaum miskin oleh
mereka yang kaya, rakyat oleh penguasa, yang bodoh oleh yang pandai, yang
miskin spiritual dan agama oleh kaum pendeta atau ulama. Dunia seakan-akan
tidak pernah kosong dari tindakan semena-mena manusia terhadap sesamanya, dalam
kekaisaran Romawi kuno sejarah menyaksikan bagaimana bayi yang lahir dalam
keadaan cacat sering menghadapi resiko mati karena kebijaksanaan kaisar yang
menghendaki keperkasaan karena tuntutan perang. Di Mesir Kuno pernah
diberlakukan perintah untuk membunuh bayi laki-laki hanya karena Fir’aun takut
tergeser dari singgasananya. Sebaliknya di Arab Jahiliyah wanita dianggap tidak
ada nilainya untuk sebuah harga diri bagi kehidupan bersuku, akibatnya setiap
bayi perempuan lahir harus dikubur hidup-hidup.
Pengalaman hidup manusia seperti yang
disebutkan di atas dan kondisi sosial masyarakat Arab sewaktu Islam muncul,
yang sarat dengan perbudakan, memberikan suatu pemahaman bahwa secara semantis
makna bebas (hurr) yang dimaksud oleh Islam itu berlawanan dengan budak
(‘abd). Bukankah salah satu misi penting sosial Islam adalah membebaskan
perbudakan. Selain wawasan kebebasan seperti yang dimaksudkan ini, sejak
periode awal Islam beberapa pemikir Muslim juga mengembangkan doktrin ikhtiyar
(pilihan atau kebebasan berkehendak), yang juga merupakan sebuah prakondisi
substantif diterimanya konsep kebebasan seperti yang dipahami filsafat politik
barat.
3.
Prinsip Musyawarah
Al
Qur’an tidak mentolelir adanya perbedaan antara yang satu dengan yang lain,
laki atau wanita atas partisipasi yang sama dalam kehidupan bermasyarakat.
Sejalan dengan pandangan ini, Al Qur’an menegaskan tentang prinsip syura
(musyawarah) untuk mengatur proses pembuatan keputusan yang dilakukan
masyarakat madani. Sayangnya, selama berabad-abad, dikalangan kaum muslimin
telah tumbuh kekliruan fatal dalam menafsirkan karakteristik syura ini. Mereka
memahami bahwa syura sama dengan seorang penguasa berkonsultasi dengan
orang-orang yang menurut pandangan mereka, yang sangat bijaksana dan tidak ada
keharusan untuk mengimplementasikan nasehat mereka. Pandangan ini menurut
Fazlur Rahman, jelas merusak makna syura itu sendiri.
Semasa
pemerintahan Bani Umaiyah (41-132/661-750) tuntutan semacam ini tidak hanya
terbatas pada perluasan penaklukan tetapi juga termasuk konsolidasi
politik-militer ke dalam, karena sepanjang sejarah pemerintahan Umaiyah terjadi
pemberontakan yang terus menerus. Pemerintah Umaiyah mengubah sistem
pemerintahan yang dijalankan oleh para khalifah terdahulu dengan memaksakan
logika politinya sendiri yang dalam beberapa hal tidak memberikan kesempatan
adanya partisipasi masyarakat. Kalau ada musyawarah, maka institusi ini hanya
dilakukan dengan mereka yang mendukung rejim penguasa. Kenyataannya musyawarah
kemudian menjadi komoditas politik yang Al Qur’an sendiri melarangnya.
Perkembangan inilah yang kemudian mewarnai hubungan antara penguasa dan rakyat,
yakni hubungan yang pada dasarnya berasal dari atas ke bawah, yang sesungguhnya
bertentangan dengan makna syura itu sendiri.
3.4
Nilai-nilai
Masarakat Madani
1.
Demokrasi
Dampak
praktis kehidupan politik Islam pada abad pertengahan nampaknya masih sangat
membekas dalam kehidupan bernegara di dunia Islam sekarang ini. Meskipun
masyarakat muslim sekarang sudah terbatas dari dominasi asing (secara fisik)
dan memiliki pemerintahannya sendiri, tetapi hampir semua mereka ini dihadapkan
pada problem internal, yaitu “kurang demokratis”. Kecuali Turki, kata Bernard
Lewis, semua negara yang mayoritas penduduk muslim dipimpin oleh variasi dari
rejim otoriter, otokrasi, despotis dan sebangsanya.(Bernard Lewis, 1996). Dari
kalangan sosiolog, dunia Islam digambarkan telah mengalami masa transisi dari
masyarakat yang berorientasi pada ekonomi moneter dan masyarakat demokratis
kepada sebuah masyarakat agraris dan rejim militer. Dua kecenderungan yang
mencerminkan watak masyarakat yang berbeda, yang pertama lebih bersifat dinamis
dan rasional sedang yang kedua menggambarkan sifat tertutup. Gambaran seperti
yang disebutkan di atas itu seakan-akan mengasumsikan bahwa Islam tidak
mengenal pemerintahan yang demokrasi. Meskipun benar diakui bahwa konsep
demokrasi masih juga menjadi salah satu isu perdebatan antara yang setuju dan
yang menentang.
Sejak
kira-kira abada ke-19, beberapa pemimpin reformist Muslim menyatakan bahwa
untuk mengimplementasikan Islam dalam sektor kehidupan umum, pemerintahan harus
ditegakkan berdasarkan atas kehendak rakyat banyak. Salah satu alasan yang
menjadi pertimbangan bagi kaum reformist seperti Jama al-Din al-Afghani adalah
karena tanpa partisipasi rakyat di dalam pemerintahan, maka negara Islam tidak
akan kuat untuk menghadapi tekanan Barat. Alasan yang lain, agar kemajuan
internal bisa dicapai, karena tanpa kemajuan, negara Islam akan tetap lemah,
maka partisipasi masyarakat sangat diperlukan.
2.
Pluralisme dan Toleransi
Istilah
“Masyarakat Madani” dan civil society berasal dari dua sistem budaya
yang berbeda. Masyarakat madani merujuk pada tradisi Arab-Islam sedang civil
society tradisi barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna yang
berbeda apabila dikaitkan dengan konteks asal istilah itu muncul. Oleh karena
itu, pemaknaan lain diluar derivasi konteks asalnya akan merusak makna
aslinya. Ketidaksesuaian pemaknaan ini tidak hanya menimpa pada kelompok
masyarakat yang menjadi sasaran aplikasi konsep tersebut tetapi juga para interpreter
yang akan mengaplikasikannya. Hal lain yang berkaitan dengan perbedaan aplikasi
kedua konsep masyarakat ini adalah bahwa civil society telah teruji
secara terus menerus dalam tatanan kehidupan sosial politik barat hingga
mencapai maknanya yang terakhir, yang turut membidani lahirnya peradaban Barat
Modern.
Sedangkan
masyarakat madani seakan merupakan keterputusan konsep ummah yang merujuk pada
masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad, idealisasi tatanan
masyarakat madinah ini didasarkan atas keberhasilan Nabi mempraktekkan
nilai-nilai keadilan, ekualitas, kebebasan, penegakan hukum dan jaminan
kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan terhadap kaum lemah dan
kelompok minoritas. Meskipun secara ideal eksistensi masyarakat Madinah ini
hanya sebentar tetapi secara historis memberikan makna yang sangat penting
sebagai rujukan masyarakat di kemudian hari untuk membangun kembali tatanan
kehidupan yang sama. Dari pengalaman sejarah Islam masa lalu ini, masyarakat
Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad secara kualitatif dipandang oleh
sebagian kalangan intelektual muslim sejajar dengan konsep civil society.
Dasar
tatanan masyarakat madani memperoleh legitimasi kuat pada landasan tekstual (nass)
Al Qur’an maupun hadits dan praktek generasi awal Islam. Landasan ini tercermin
dalam sikap budaya dan agama (cultural and religious attitude) seperti
toleran dan pluralis, serta pengakuan atas hak-hak asasi manusia. Fazlur Rahman
(1980), misalnya, mengidentifikasikan sikap ini dari simpulan makna beberapa
ayat Al Qur’an dan menegaskan bahwa “karena semua ajaran Nabi berasal dari
sumber yang sama, maka Nabi Muhammad memerintahkan ummatnya untuk meyakini
semua wahyu Allah yang diturunkan kepada para Nabi”. Al Qur’an mengatakan bahwa
Muhammad meyakini tidak hanya kitab Taurat dan Injil tetapi juga kepada semua
yang diturunkan Allah (al-shura:15). Dalam pandangan Al Qur’an kebenaran serta
petunjuk Tuhan tidak terbatas pada kaum tertentu tetapi secara universal
berlaku untuk semua umat manusia: “tidak ada suatu ummat pun melainkan telah
ada padanya seorang pemberi peringatan” (Fatir:24); “karena bagi
tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk” (al-Ra’d:7). Fazlur Rahman
mengatakan bahwa kata “kitab” yang sering digunakan dalam Al Qur’an tidak untuk
menunjuk kitab wahyu tertentu tetapi merupakan istilah generik yang menjelaskan
totalitas wahyu Allah (al-Baqarah:213).
Sikap
toleran dan pluralis seorang muslim terhadap agama dan pendapat pemeluk agama
lain jelas mendapat legitimasi dari ayat-ayat Al Qur’an dan preseden yang
dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Salah satu tindakan pertama Nabi untuk
mewujudkan masyarakat Madinah ialah menetapkan dokumen perjanjian yang disebut
Piagam Madinah (Mitshaq al-Madinah), yang terkenal dengan “Konstitusi
Madinah” Hamidullah menyebutkan bahwa Piagam Madinah merupakan konstitusi
tertulis pertama yang ada di dunia yang meletakkan dasar-dasar pluralisme dan
toleransi.
3.
Hak-Hak
Asasi Manusia (HAM)
Konsep masyarakat madani dewasa ini telah
mengambil peran sebagai sebuah agenda cita-cita masyarakat yang modern untuk
Indonesia baru. Sekalipun masyarakat madani telah tiada secara fakta saat
ini, tetapi hikmah-hikmahnya tetap masih menyinari aspek-aspek masyarakat
modern. Sebagaimana contoh yang diungkapkan oleh Nurcholish Madjid, contoh yang
paling mudah dideteksi adalah konsep tentang hak asasi manusia. Dari segi
pelaksanaan misi suci beliau, puncak karier Rosulullah saw, ialah
terselenggaranya “pidato perpisahan” yakni (khutbah al-wada). Dalam
pidato itulah pertama kalinya manusia diperkenalkan dengan konsep “hak-hak
asasi”, dengan inti dan titik tolak kesucian “hidup, harta dan martabat
kemanusiaan (ad-dima’ wa al-amwal wa al-a’radh), yang apabila dibahasa
inggriskan akan terbaca : life, property and dignity atau life, fortune and
sacred honor.”(Nurkholis Majid, 1996).
Dalam
pidato itulah Nabi menegaskan tugas suci beliau untuk menyeru ummat manusa
kepada jalan Tuhan Yang Maha Esa dan menghormati apa yang menjadi hak-hak suci
sesama umat manusia, lelaki dan perempuan. Isi pidato yang dikutip Nurcholish
Madjid dari Ali Jarisyah dalam “Hurumat La Huquq” yakni: “....
sesungguhnya darahmu, harta bendamu dan kehormatanmu adalah suci atas kamu
seperti sucinya hari (haji)mu ini, sampai tibanya hari kamu sekalian bertemu
dengan Dia:. (Nurcholis Madjid,1995) kemudian fondasi hak-hak asasi manusia
ini, diperkuat oleh Dekrit Tuhan, dari peristiwa pembunuhan pertama sesama
manusia (oleh Qabil terhadap Habil).
“...... barang siapa yang membunuh seorang
manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya .....” (Al-Maidah:27-31).
4.
Keadilan
Sosial
Adil
dalam pandangan islam ialah setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya.
Bukan setiap orang memperoleh bagian yang sama besarnya. Ini menunjukkan islam
menghargai ikhtiar. Setiap orang berhak beroleh kontra prestasi sebanding
dengan prestasi yang diberikannya. Adapun prestasi adalah upaya-upaya yang
wajar dalam sebah kompetisi yang jujur. Bukan hasil prestasi namanya jika
beroleh sesuatu karena fasilitas.
Relevansi
keadilan sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yakni
sangatlah dibutuhkan mengingat, perasaan teringkari dan juga diperlakukan
secara tidak adil akan dengan sendirinya membuka pintu bagi adanya “wawasan
revolusioner”. Yakni suat wawasan yang karena terpusat kepada usha mengubah
yang tidak adil menjadi adil yang akan berdampak kepada memudarnya disiplin
karena setiap aturan akan dipandang hanya menguntungkan mereka yang sedang
beruntung. Maka dengan perkara perwujudan cita-cita dasar kita untuk bernegara
yaitu “dengan mewujudkan keadilan sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia
dipandang sangatlah signifikan.
Dari
sudut agama, masalah ini terkait dengan ‘hukum Allah’ (sunnatullah) bahwa
kehancuran suatu masyarakat biasanya dimulai oleh tidak adannya keadilan sosial
dalam masyarakat, akibat dari tingkah laku orang-orang kaya yang tidak lagi
peduli kepada kewajiban moral mereka untuk memperhatikan nasib orang miskin.
Dan sikap mereka yang tidak menjaga perasaan umum kalangan yang kurang
beruntung. Sebagai landasan teologisnya juga sebagai ciri khas metode untuk
sandaran perwujudan masyarakat madani adalah:
“Dan jika kami (Tuhan) hendak membinasakan
suatu negeri, maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di
negeri itu (supaya menta’ati Allah) namun mereka melakukan kedurhakaan dalam
negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya keputusan (vonis Tuhan).
Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”
(QS
Al-Isra’:16)
BAB III
KESIMPULAN
Masyarakat madani adalah sistem sosial yang
subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara
kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya
usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan
pemerintahan mengikuti Undang Undang dan bukan nafsu atau keinginan individu
menjadikan keterdugaan atau predictability serta ketulusan atau transparency
system.
Adapun fungsi masyarakat Madani dalam sebuah
Negara dapat ideskripsikan sebagai berikut, yaitu : pertama, meniadakan
ketidakadilan dan kesenjangan dalam masyarakat. Kedua, melindungi kepentingan
penduduk yang universal. Kepentingan tersebut meliputi elemen sipil, politik
dan sosial.
Masyarakat Madani yang dicontohkan oleh Nabi
pada hakekatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat yang hanya mengenal
supremasi kekuasaan pribadi seorang raja seperti yang selama itu menjadi
pengertian umum tentang Negara. Meskipun secara eksplisit islam tidak berbicara
tentang konsep politik, namun wawasan tentang demokrasi yang menjdi elemen
dasar kehidupan politik masyarakat madani bisa ditemukan di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
v Endang, Ujang, Pendidikan Kewarganegaraan, 2015,
v Rosyada, dede, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta, 2003, PRENADA
MEDIA, ICE UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA, THE ASIA FOUNDATION.
No comments:
Post a Comment